Agus Salim : Dipersulit Menjerit, Dipermudah Alhamdulillah

FOKUSATU-Membangun budaya literasi ( membaca-menulis) di sekolah, merupakan upaya kongkrit untuk meningkatkan kualitas sumber daya insani generasi negeri ini. Membangun budaya literasi di sekolah membutuhkan peran para aktivis idealis, yang optimis bahwa ikhtiarnya akan berbuah manis. Tidak mudah memang menumbuh-kembangkan budaya literasi di sekolah, tapi bukan berarti tidak bisa.

Ada faktor internal dan eksternal yang dapat “menjegal” tumbuh kembang budaya literasi di sekolah. Diantara faktor internal yang menghambat tumbuh dan berkembangnya budaya literasi adalah : MALAS.

Malas adalah faktor penghambat paling hebat yang dapat mematikan budaya literasi. Saking besarnya pengaruh malas dalam kehidupan hingga Rasulullah selalu berdoa : “ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas… ”

Disamping faktor internal diatas, ada juga faktor eksternal yang bisa menghambat semangat seorang aktifis literasi untuk menumbuh-kembangkan budaya literasi di sekolah. Tapi selama sang aktifis menjunjung tinggi idealisnya, insya Allah ia akan mampu mengatasi faktor eksternal tersebut. Hal tersebut sebagaimana dialami oleh salah seorang Guru Motivator Literasi. Berikut ini kisahnya :

Sejak terpilih sebagai Guru Motivator Literasi ia optimistis bisa melaksanakan program wisata literasi di sekolah tempat ia bekerja. Sikap optimisnya cukup beralasan, karena sejak ia menyatakan akan mengikuti Program Guru Motivator Literasi yang di gagas oleh Forum Indonesia Menulis, teman-teman, para kepala sekolah dan manajer HRD mendukungnya.

Tapi entah kenapa ketika program wisata literasi akan dilaksanakan, dukungan terhadapnya makin surut. Menyadari hal tersebut Guru Motivator Literasi ini berusaha mencoba cara lain. Ia berusaha mencari beberapa sekolah yang bersedia menerima implementasi program wisata literasi siswa, guru dan kepala sekolah.

Ternyata tak semudah yang ia bayangkan, rencananya untuk mengalihkan pelaksanaan implementasi wisata literasi ke sekolah lain ternyata tak direstui direktur sekolah. Guru Motivator Literasi ini di panggil manajer HRD untuk “diinterogasi” (dimintai keterangan) terkait rencana pelaksanaan program tersebut.

Melihat gelagat kurang baik dari pihak direktur sekolah yang dirasakannya, maka hari itu juga, ia memutuskan mengundurkan diri dari sekolah tersebut. Baginya sekali layar terkembang surut ia berpantang, ia tidak bisa dicegah, tidak ada yang boleh menghalangi idealismenya, tidak ada yang boleh menghalangi mimpinya membangun budaya literasi untuk anak negeri. Justru ia merasa heran mengapa pihak direksi sekolah mempersulit dirinya untuk menghidupkan budaya literasi yang sedang tumbuh di sekolah tersebut.
Beberapa teman dekatnya mencoba membesarkan hatinya dan mendukung rencananya untuk hijrah dan membangun mimpinya: Menumbuhkan kembangkan-budaya literasi.

Alhamdulillah, inna ma’al usri yusro, sesudah kesulitan ada kemudahan. Beberapa sekolah yang ia hubungi sebelumnya tertarik untuk menjadi tempat pelaksanaan program wisata literasi.
Setelah keluar dari sekolah tempatnya bekerja, sang Guru Motivator Literasi ini langsung “tancap gas” menghubungi kembali beberapa sekolah yang menyatakan kesiapannya menjadi tempat Implementasi program wisata literasi siswa, guru dan kepala sekolah.

Ada 2 sekolah yang menyatakan bersedia, pertama Sekolah Dasar, kedua Madrasah Tsanawiyah (Sekolah Menengah Pertama). Disekolah Dasar, siswa kelas 6, guru, karyawan dan kepala sekolah diwajibkan mengikuti program wisata literasi ini oleh manajer sekolah

Sementara di tingkat Madrasah Tsanawiyah, pihak sekolah mewajibkan seluruh siswa (593 siswa) untuk mengikuti program wisata literasi ini. Program wisata literasi ini melibatkan pembina OSIS sebagai penanggung jawab, Pengurus OSIS sebagai pelaksana dan Guru Motivator Literasi sebagai nara sumber.

Alhamdulillah, seperti pepatah anak zaman now, bahwa hasil tidak akan menghianati ikhtiar, di sekolah tempat Guru Motivator Literasi kini bekerja, ia mendapat amanah dan kesempatan menumbuh-kembangkan budaya literasi dan menjadi penulis tetap di web sekolah tersebut dan disebuah media online. Bahkan sebuah Pesantren di Jonggol memberinya amanah untuk menulis buku biografi tentang pendiri pesantren tersebut.

Belajar dari kisah Guru Motivator Literasi diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa, sesungguhnya betapapun beratnya faktor eksternal menghambat, insya Allah tidak akan membuat mimpi seseorang jalan ditempat, jika ia setia pada cita cita dan pantang menyerah memperjuangkannya.

“Man jadda wajada”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + 3 =