Azis Khafia : Betawi Menggugat, Renungan 77 Tahun Indonesia Merdeka

FOKUSATU-Bung Karno dalam keterasingannya di penjara oleh kolonial belanda, ia isi waktunya dengan menuangkan cita-cita politiknya dalam kumpulan tulisan, yang kemudian kita kenal dengan buku “Indonesia Menggugat”, yang secara singkat ia ingin Indonesia Merdeka, bebas dari penjajahan dan berdiri menata bangsanya sendiri. Diusia proklamasi kemerdekaan Indonesia banyak dinamika Politik, sosial dan budaya yang berubah dengan signifikan. Satu diantaranya adalah lahirnya Undang-Undang Ibukota Nusantara (IKN) atau UU Nomor 3 Tahun 2022. Dengan demikian Ibukota Negara Kesatuan Republik Indoensia kini bukan lagi Jakarta tetapi di Kota Penajam Utara Kalimantan Timur yang kemudian dikenal dengan Kota Nusantara, meski Undang-Undang tersebut berlaku efektif mungkin tahun 2024 dan masih membutuhkan aturan dan ketentuan turunannya berupa Peraturan Pemerintah dan lainnya. Namun fakta politik hari ini Jakarta bukan lagi Ibukota Negara. Masyarakat Betawi selaku masyarakat inti kota Jakarta sangat menyesalkan keputusan Pemerintah dan DPR RI yang terkesan terburu buru tersebut. Namun bagaimanapun itulah realitas politik yang harus ditrima oleh rakyat Indonesia termasuk Kaum Betawi, tinggal lagi kini bagaimana masyarakat Betawi memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah pusat serta pemangku kepentingan lainnya terkait Undang-Undang Tentang Jakarta, revisi atau bahkan Undang-Undang Pengganti Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah Jakarta selanjutnya. Dari beberapa hasil focus group discusion kalangan akademisi dan aktifis Betawi setidaknya ada beberapa catatan yang diajukan tentang Rancangan Undang-Undang Jakarta, antara lain ; Pertama,pemerintah Berkewajiban mengakomodir satuan lembaga adat dimasyarakat yang masih ada sesuai dengan aturan dan ketentuan perUndang-undangan, kaum Betawi merupakan masyarakat inti kota Jakarta, karenanya harus diberi ruang yang lebih besar untuk pembangunan kampung halamannya, yang setelah sekian lama kaum Betawi termarginalkan atas nama pembangunan dan atas nama Ibukota negara.

Karena Undang-Undang Jakarta harus mengakomodir kaum Betawi sebagai Aceh dengan Wali Nangro Aceh nya, Papua dengan Majelis Rakyat Papua, maka Jakarta pun harus memasukan Majlis Adat Kaum.Betawi.

Kedua, Masyarakat Betawi menginginkan adanya Pemerintahan daerah yang mengakomodir masyarakat Betawi dalam sistem Pemerintahan secara nyata, yang diistilahkan _Trisula Pemerintahan_, yakni *Eksekutif, legislatif dan Majelis Adat Kaoem Betawi*. Wacana trisula pemerintahan bukan hal baru di Indonesia, setelah reformasi dan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang kemduian dikenal dengan Otonomi Daerah, beberapa daerah yang memiliki kekhususan tertentu, masyarakat adat memiliki peran dalam tata kelola pemerintahan, seperti halnya Aceh dan Papua.

Ketiga,  makna desentralisasi yang selama ini dimaknai dengan pemekaran wilayah otonom oleh masyarakat, sebenarnya bisa juga merupakan penggabungan wilayah atau penyatuan wilayah, karenanya Teritori Betawi seperti yang sudah dianut oleh TNI dan Kepolisian dengan daerah teritori koordinasi. Misalnya Jayakarta bagi TNI meliputi Jakarta sebagian Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi, begitupun Polda Metro Jaya meliputi Jakarta dan sekitarnya, itu adalah Teritori Budaya Betawi. Maka tidak tertutup kemungkinan untuk penyatuan wilayah Jakarta dan sekitarnya dalam satu atap pengelolaan Pemerintahan.

Demikian sekilas catatan terkait hak-hak politik, sosial dan budaya kaum Betawi yang mewacana, meski ini bukan perkara mudah mengingat posisi tawar (bargaining) Betawi dengan penguasa (Pemerintah pusat dan Partai Politik) masih sangat lemah, namun Kaum Betawi hendaknya harus terus menyuarakan dan menggugat, jangan diem atau Melayu Betawi akan punah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

45 − 35 =