MUCHLIS HASSAN : LEMBAGA SURVEI MENJADI “MAZHAB POLITIK ” KAUM OPORTUNIS

FOKUSATU-Pasca perilisan hasil hitung cepat (quick count) Pemilu 2019 kiprah lembaga-lembaga konsultan dan survei politik mulai di pertanyakan netralitas dan kapabilitasnya, karena dianggap sudah tidak netral dan berupaya mengiring opini publik. Padahal, praktik prediksi dan perhitungan berbasis statistik di ranah politik sebenarnya bukan barang baru di Indonesia sebab sudah ada sejak akhir dekade 1960-an.

Salah satu pelopornya adalah ilmuan politik asal AS, Karl D. Jackson. Pada 1968-1969, ia melakukan survei lapangan di Jawa Barat yang bertujuan untuk memberikan eksplanasi lain ihwal pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal ini dilakukannya sebagai bagian dari riset akademik untuk mengetahui hubungan antara otoritas tradisional, Islam, dan pemberontakan dalam konteks perilaku politik masyarakat di sana (Trihartono, 2013) serta menjelaskan faktor-faktor yang mendukung gerakan DI/TII (Mehden,1981).

Sejatinya kehadiran Lembaga Survei adalah untuk mengontrol keberadaan penyelenggara pemilu ( KPU ) agar tidak berlaku curang. Namun pada kenyataannya pada pelaksanaan pemilu 2019 lalu indikasi adanya kongkalikong beberapa Lembaga Survei dengan KPU terlihat sangat kuat, sekarang lembaga survei dijadikan ” Mazhab ” politik oleh politikus oportunis demi mengerek elektabilitas partainya ataupun pribadinya.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, ketika terjadi ketidak percayaan publik pada pemerintahan Jokowi-Amin semakin meluas, namun masih ada beberapa lembaga survei menyatakan dalam lirisnya bahwa masyarakat sangat puas atas kepemimpinan Jokowi dan meminta tiga periode. Hal-hal yang seperti ini tentunya sangat membahayakan perjalanan demokrasi di republik indonesia. Meskipun banyak dipertanyakan kredibilitas keberadaan Lembaga Survei tersebut, namun pada kenyataannya oleh kelompok atau kaum oportunis keberadaan Mazhab baru ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan partai.

Dengan berlindung di balik benteng akademik seolah-oleh mereka orang yang maha tahu dan maha benar, jelas apa yang mereka lakukan adalah pembodohan publik. Dan sudah semestinya Komisi II DPR RI, Mendagri dan KPU duduk bareng untuk membuat aturan-aturan yang memperjelas eksistensi lembaga survei tersebut, siapa pemiliknya, darimana dananya, siapa penyumbang dananya, siapa orang-orangnya, hal ini perlu dipublikasikan agar masyarakat dapat menilai lembaga survei mana yang betul-betul independen dan terpercaya.

Semestinya Lembaga survei dapat mengambil peran sebagai lembaga kontrol pemerintah yang bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas kebijakan dari pemerintah itu sendiri. Bukan malah menjadi tameng atas kegagalan pemerintah dengan cara memanipulasi keinginan publik. Dalam kesempatan ini saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Rizal Ramli, bahwa setiap lembaga survei harus independen dan transparan dalam mengawal perjalanan demokrasi di negeri yang tercinta ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

60 − 55 =