Dilema PJJ

FOKUSATU-Kegiatan belajar dan mengajar oleh peserta didik dan pendidik dilakukan secara jarak jauh atau biasa disebut dengan PJJ yang merupakan singkatan dari Pembelajaran Jarak Jauh.

Peserta didik melaksanakan PJJ secara daring. PJJ menjadi salah satu langkah yang terpaksa dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Langkah ini dilakukan dalam menghadapi virus COVID-19.

Namun, kenyataanya PJJ yang telah dilakukan sejak 16 Maret menghadapi berbagai kendala. Mendikbud Nadiem Makarim, memberikan pernyataan bahwa meskipun pada pelaksanaan PJJ mayoritas peserta didik di Indonesia sudah mendapatkan akses internet, tetapi di sejumlah daerah yang khususnya terpencil dan tertinggal mengalami kesulitan akses internet.

Kendala pada sejumlah daerah tersebut dapat dikarenakan keterbatasan ekonomi peserta didik maupun pendidik dalam memiliki fasilitas akses internet berupa kuota internet maupun perangkatnya seperti handphone, laptop, dan sebagainya. Ini menunjukkan belum meratanya penyebaran fasilitas pendidikan dalam pelaksanaan PJJ di Indonesia yang mengakibatkan peserta didik mengalami kesulitan, ketidakmampuan, dan ketidakefektifan dalam melaksanakan PJJ.

Pelaksanaan PJJ juga mempengaruhi kesehatan jiwa peserta didik. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes, Fidiansjah menyampaikan bahwa peserta didik yang tidak memperoleh sarana akses jaringan, menuntut peserta didik untuk belajar secara mandiri tanpa pendampingan pendidik atau guru sehingga tidak tahu waktu belajar, selain itu permasalahan kesulitan memahami pelajaran, munculnya rasa bosan tinggal di rumah, khawatir ketinggalan pelajaran, takut Covid-19, hingga adanya rasa khawatir akibat Covid-19 yaitu menurunnya penghasilan orangtua.

Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan jiwa peserta didik perlu diperhatikan oleh lingkungan disekitarnya. Peran orangtua atau orang yang tinggal bersama peserta didik memegang peranan penting dalam hal ini. Selain itu, perlu juga adanya kolaborasi antara orangtua peserta didik dan pendidik agar peserta didik mampu menghadapi PJJ di tengah pandemi saat ini.

Selain itu, kebijakan pembukaan sekolah pada tahun ajaran baru 2020/2021 oleh Kemendikbud memicu munculnya permasalahan baru. Alasan mendikbud memulai membuka sekolah dikarenakan adanya ketidak-seimbangan atau ketidak-adilan dengan adanya pembukaan perkantoran dan perekonomian yang berjalan. Mendikbud berpendapat bahwa apabila sekolah tidak dimulai dapat menghukum peserta didik secara disproposional dengan tidak memberikan kesempatan sekolah secara bertahap bertatap muka.

Awalnya pada tanggal 15 Juni, Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri mengenai pembelajaran selama pandemi Covid-19 yang salah satu poinnya bahwa pembelajaran tatap muka untuk satuan pendidikan yang berada di zona hijau dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan, tetapi tetap tidak diizinkan dilakukan pembelajaran tatap muka pada zona kuning, oranye, dan merah. Namun, pada tanggal 7 Agustus, SKB melakukan penyesuaian dengan mengizinkan pembelajaran tatap muka pada sekolah di zona kuning.

Meskipun izin pembukaan sekolah perlu adanya beberapa syarat secara ketat, pembukaan sekolah ini dapat memicu klaster baru. Sebagaimana yang disampaikan oleh Panitia Kerja (Panja) PJJ Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mengevaluasikan pelaksanaan PJJ selama satu bulan yaitu pada bulan Juni hingga Juli bahwa terdapat 53 guru positif COVID-19 dalam pendidikan tatap muka yang dibuka di zona kuning.

Kebijakan pembukaan sekolah yang ditegaskan oleh mendikbud bukanlah sebuah paksaan ini-pun memunculkan pro dan kontra di masyarakat.

Berdasarkan survei online yang digelar SINDOnews bahwa responden yang pro terhadap kebijakan ini merupakan masyarakat yang mengalami kendala selama PJJ, salah satu diantara yang pro berpendapat bahwa apabila pembelajaran tatap muka lebih efektif dalam membentuk pemahaman peserta didik.

Hal ini berbeda halnya dengan yang kontra. Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti menyampaikan hasil survei sederhana yang telah dilakukan bahwa terdapat 129.937 orangtua peserta didik atau 66% dari total responden menolak pembukaan sekolah karena khawatir melihat masih tingginya kasus dan risiko penyebaran dan penularan covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa hak pendidikan dan risiko kesehatan peserta didik maupun pendidik perlu diatasi dengan baik.

Berdasarkan pemaparan tersebut, pembelajaran selama Covid-19 yang dilakukan oleh peserta didik dan pendidik menunjukkan adanya dilema langkah PJJ dengan kebijakan pembukaan sekolah baru yang erat kaitannya dengan hak pendidikan dan risiko kesehatan peserta didik dan pendidik. Sebagaimana bunyi hak pendidikan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Maka negara sudah seharusnya bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran jarak jauh selama pandemi, demikian pula dengan jaminan kesehatan. Karena negara sesunguhnya memang harus meberi garansi ketika kebijakan diluncurkan. Namun, faktanya muncul banyak permasalahan, penyebaran serta penularan Covid-19, olehnya, langkah dan kebijakan pemerintah tersebut mengalami dilema dan terus menuai kritik.

Itulah gambaran sistem yang dianut saat ini, berbeda dengan sstem Islam yang memberi solusi tuntas dan menyeluruh. Dalam sirah Rasul hingga masa tarikh Daulah Khilafah, pemerintah menjadikan seluruh sarana, prasarana, infrastruktur, fasilitas, serta berbagai pendukung lainnya disediakan oleh negara secara gratis sehingga seluruh warga negara mendapatkan akses pendidikan berkualitas. Kurikulum pembelajaran saat itu-pun didasarkan pada akidah islam, sehingga peserta didik menjadi generasi yang bermutu, berakhlak mulia dengan memiliki bekal akhlak, tsaqofah islam, dan penguasaan ilmu kehidupan.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 − = 14