MHR Shikka Songge Tentang Pancasila Ideologi Penindasan Atau Pembebasan

FOKUSATU- Di Negeri ini konon katanya ada Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah pembangunan. Konon Pancasila mulia dirumuskan pada tanggal 1 Juni 1945, diperdebatkan dan dirumuskan secara final pada tanggal  22 Juni 1945 dan disahkan menjadi ideologi dan dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan   sedikit perubahan pada sila pertama, yaitu dari konsep asli yang sudah disetujui “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalan Syariat Islam bagi Pemeluk Pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta tentu bagi kalangan muslim terpelajar adalah sebuah pengorbanan demi tercapainya tujuan perjuangan untuk meraih kemerdekaan RI. Meski demikian tetap mengendap masalah yang serius dan fundamental, yang terus mengganggu hubungan berbangsa dan bernegara kita di masa depan, selama emplementasi spirit Pancasila tidak seperti diharapkan oleh para perumusnya.

Okelah saat ini kita tidak lagi menyoalkan   hilangnya tujuh kata yang sangat prinsipil itu. Namun kita mencoba menerawang lebih dalam implementasi sila-sila Pancasila dalamm kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seberapa jauh sila-sila dalam Pancasila seperti: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Dlm Permusyawarakatan dan Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, terimplementasi dalam kehidupan kebernegaraan kesebangsaan kita? Seberapa kuat Pancasila mengakar dalam tradisi pergerakan kita membangun kebudayaan berbangsa dan bernegara?

Sejauh mana Pancasila menginstitusi dalam syaraf organisme intelektual, atau seberapa kuat Pancasila meresap dalam jiwa raga anak bangsa, penyelenggara negara, sehingga menginspirasi dan melahirkan cara padang,  menggerakan cara berpikir, cara bertindak dan berbudaya di semua sektor kekuasaan dan lembaga negara maupun strata sosial kehidupan kita sebagai anak bangsa?

Bila Pancasila telah menginstitusi menjadi cara pandang, maka akan melahirkan cara berpikir, dan setiap cara berpikir akan melahirkan tindakan, dan setiap tindakan apabila dilakukan secara kontinyu maka  melembaga menjadi budaya, dan apabila budaya tersebut telah dianut oleh masyarakat menjadi nilai kehidupan maka akan terbentuklah pranata peradaban masyarakat. Maka kehidupan kebernegaraan dan kesebangsaan kita terformulasi menjadi Pancasilais.

Lalu pertanyaan selanjutnya,  adakah logika, nalar dan struktur berpikir juga warna identitas kehidupan kita sudah mengkristalisasi yang dipengaruhi oleh pandangan maupun nalar dan logika berpancasila? Tentu jawabannya secara objektif bisa ditelusuri dalam kehidupan kita semua termasuk kehidupan penyelenggara negara.

Setidaknya menurutku implementasi Pancasila baru sebatas jargon, pernyataan verbalisme aparatur penyelenggara negara. Yang sering kita dengar dalam  pidato-pidato Presiden dan petinggi negara lainnya bahwa segala sesuatu yang terkait dengan kebijakan negara selalu berdasarkan Pancasila. Dengan begitu Pancasila menjadi legitimasi pembenar atas setiap rumusan kebijakan. Pancasila seakan hanya menjadi pemanis pidato pejabat negara agar isi pidato  indah didengar. Meskipun penuh dengan kepalsuan dan absurditas.

Andaikan konstruksi Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan falsafah pembangunan bangsa dan negara, maka semestinya Pancasila sanggup menjamin terwujudnya eskalasi pembangunan, harmoni dan peneguh relasi sosial kebangsaan kita.

Bahwa Pancasila sebagai Ideologi, tentu bisa menjamin kemerdekaan dan kebebasan kita menjalani ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang kita miliki. Beragama yang benar akan meneguhkan sikap komitment moral berbangsa dan bernegara. Bahwa  Pancasila Ideologi yang membuka ruang dialog setiap perbedaan dan sanggup menjahit perbedaan dan mewujudkan persatuan sesama anak bangsa. Pancasila menjadi ideologi perjuangan pembebasan dari setiap penindasan.

Setiap anak bangsa, maupun penyelenggara negara bila mensikapi secara benar substansi Pancasila maka mereka bisa menjadi perisai pembebasan setiap hal yang berbau penindasan.

Bhw Pancasila ideologi yang menjamin akan terwujudnya keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan hukum dan keadilan berbudaya bagi semua. Bila keadilan pada aspek aspek tersebut sudah  terwujud maka negara akan kuat tegak dan bermartabat.

Barangkali itu semua hanyalah susunan kata kata-kata dan kalimat indah yang sungguh tak kharismatis karena telah kehilangan makna substansif di dalamnya.  Mungkin kata-kata itu benar bagi elite penguasa tapi tidak benar bagi rakyat, yang tidak lagi bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, yang terjadi dan dirasakan oleh rakyat jelata.

Andaikan sungguh ada Pancasila dalam kehidupan tata kelola bernegara, kenapa Pemilu curang itu dipertahankan dan dibela  tanpa logika. Kenapa Quick Count yang direkayasa untuk memprovokasi dan mengintimidasi publik agar tergiring untuk mengakui kemenangan absurd?

Kalau ada Pancasila kenapa Polri begitu beringas memuntahkan peluru panas dengan persenjataan perang untuk melindungi Kantor KPU dan Bawaslu sehingga tidak terjadi diaolog antara rakyat dengan para komisioner kedua lembaga penyelenggara Pemilu itu?

Kalau ada Pancasila kenapa polisi harus menghujani rakyat dengan gas air mata dan menembak rakyat, anak-anak remaja dengan senjata laras panjang? Bukankah rakyat hanya ingin bertanya untuk mengetahui kepada komisioner penyelenggara dan pengawas Pemilu kenapa suara politik mereka dicurangi?

Kalau ada Pancasila kenapa pemerintahan Joko Widodo tidak memberikan jawaban resmi atas tragedi kematian yang misterius menimpa anggota KPPS, yang mendekati 700 orang dan ribuan lainnya yang masih tergeletak.

Kalau ada Pancasila kenapa harus mempersikusi dan mentersangkakan tokoh-tokoh nasional dengan  tuduhan makar yang belum tentu benar. Apalagi sebahagian yang ditersangkakan adalah mantan perwira terbaik Indonesis yang memiliki integritas dan komitmen yang kuat untuk bangsa dan negara?

Kalau ada Pancasila kenapa harus menangkap lalu memborgol aktivis yang kritis terhadap pemerintah dan memperlakukan mereka bagai kriminalis?

Atau mungkin seperti itulah persepsi pemerintah tentang Pancasila? Pancasila membolehkan KPU bertindak curang dalam penghitungan suara. Pancasila membolehkan aparat Polri menembaki rakyat dan anak-anak remaja dengan peluru tajam di jalan raya maupun dalam  masjid dini hari menjelang sahur.

Pancasila membolehkan aparat polri membergol suara kritis aktivis pro demokrasi atau lawan politik seperti halnya kaum kriminal? Pancasila membolehkan mentersangkakan tokoh tokoh terbaik militer sebagai pelaku makar. Padahal sejatinya TNI  adalah pejuang dan pembela ideologi Pancasila.

Pancasila  membolehlkan untuk meredam setiap kaum intelektual yang melakukan kritik dan kontrol terhadap kekuasaan? Pancasilapun membolehkan aparat polisi memprsekusi tokoh agama, alim ulama, khotib, serta guru-guru ngaji.

Semua yang terjadi itu, merupakan bentuk  penyimpangan kekuasaan penyelenggara negara. Di mana Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan tidak menjadikan Pancasila sebagai sistem nilai, filsafah atau cara pandang dalam pengelolaan menejemen pembangunan negara.

Andaikan saja Presiden sungguh-sungguh menghadirkan Pancasila sebagai nilai dasar dan falsafah dalam   tata kelelola bernegara maka Presiden tidak perlu takut dan cemas terhadap ancaman apapun, apalagi menggunakan alat negara seperti kepolisian yang bengis dan beringas untuk mengintimidasi dan menindas rakyat sendiri. Sebab sebagaimana yang kita fahami bahwa Pancasila, ideologi yang berketuhanan dan berkemanusiaan yang anti terhadap setiap tindakan kekerasan dan penindasan.

Kondisi buruk yang menimpa kebernegaraan dan keberbangsaan kita akibat kesalahan kita sendiri dalam  meletakan dan menafsirkan ideologi Pancasila sehingga kualitas Pancasila menjadi parsial dan kerdil. Tafsir terhadap Ideologi Pancasila yang demikian itu sangat berbahaya dlm mengelola negara besar seperti Indonesia. Sehingga ujungnya Pancasila ternyata menjadi alasan pembenar atas tindakan represif aparat negara. Pancasila menjadi dasar melegitimasi kekerasan yang berbau penindasan terhadap setiap perbedaan pandangan dengan pemerintah.

Akibat tafsir yang menyimpang dan monopolistis, seolah Pancasila menjadi kerdil hanya melegalkan tindak represif dan penindasan aparat penyelenggara negara terhadap rakyat. Bahkan aparat kepolisianpun bisa membunuh rakyat atas nama Pancasila. Seorang penguasa negara bisa secara semena mena mencurangi dan melakukan berbagai tindakan keji, represif, manipulatif, penindasan yang akan meruntuhkan martabat rakyat atas nama Pancasila.

Olehnya kedepan seiring dengan  perkembangan modernitas dan pertumbuhan pranata sosial kebangsaan kita, maka tafsir terhadap ideologi dan filsafah Pancasila harus terus diupdate, dan tidak hanya menjadi monopoli kaum elite penguasa penyelenggara negara semata. Tetapi Pancasila harus digali kembali akar dan substansinya dalam  kehidupan masyarakat kebangsaan kita. Sesungguhnya nilai nilai Pancasila itu hidup dan tumbuh di dalam lingkungan masyarakat. Untuk itu diperlukan reformulasi nilai-nilai yang plural itu menjadi pandangan hidup kolektif kita sebagai anak bangsa agar Pancasila tetap hidup dan tumbuh kuat menjadi tradisi kebudayaan berbangsa dan bernegara.

Penulis MHR Shikka Songge :Pemateri Nasional NDP HMI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

39 − = 35

Fokusatu