PMIPP Menggelar Dialog Merajut Kembali Papua Dengan Nilai Pancasila

PMIPP Menggelar Dialog Merajut Kembali Papua Dengan Nilai Pancasila

Jayapura, Fokusatu.com

Sebagai salah satu bentuk kepedulian Persatuan Mahasiswa Islam Perempuan Papua (PMIPP) terhadap isu-isu yang berkembang di Papua beberapa bulan ini, organisasi berbasis muslim perempuan itu menyelenggrakan Dialog Publik dengan tema Merajut Kembali Papua Dengan Nilai Pancasila. (26/09/2019). Acara diselenggrakan di Caffe Outentik Jayapura dan dihadiri oleh para mahasiswa, aktivis, masyarakat, pemuda dan media di Papua.

Untuk memantik jalannya diskusi, Persatuan Mahasiswa Islam Perempuan Papua (PMIPP) Rifki Saputera Masaa, S.E yang dikenal sebagai Pengiat Sosial Papua, Ratih Amalia Lestari, M.Si yang familiar sebagai Cendikiawan Muslimah Papua, dan Saleh Rumatoras, S.H sosok yang lebih akrab dikenal sebagai Aktivis Papua.

Rifki Saputera Masaa mengapresiasi diskusi publik yang diselenggarakan Persatuan Mahasiswa Islam Perempuan Papua (PMIPP), dengan diskusi public tersebut dia berharap dialog ini mampu menjembatani perbedaan-perbedaan persepsi dalam menyelesaikan konflik tersebut

“Saya sangat mengapresiasi atas terselenggaranya diskusi publik ini dengan tema yang dapat saya katakana terlibat dalam memperjuangkan kesatuan dan keutuhan NKRI. Dialog memang tidak bisa menyelesaikan persoalan di Papua secara langsung. Banyak pihak yang harus dilibatkan dalam pelaksanaannya termasuk kelompok yang pro-kemerdekaan. Saya berharap dialog ini mampu menjembatani perbedaan-perbedaan persepsi dalam menyelesaikan konflik tersebut”, ujar Rifki.

Menurut dia, kejadian di Papua kemarin merupakan pemerintah lupa untuk menyelesaiakan persoalan diskriminasi di Papua, dia berharap Kekerasan yang terjadi secara langsung maupun structural harus segera dihentikan.

“Kerusuhan di Papua hari ini menunjukan bahwa pemerintah lupa bahwa persoalan diskriminasi, pelanggaran HAM, dan perbedaan persepsi terkait sejarah di Papua merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Kekerasan yang terjadi secara langsung maupun structural harus segera dihentikan dan harus segera dilakukan perbaikan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat Papua”, imbuh Rifki.

Dia juga menegaskan hadirnya Negara di Papua jangan sekedar adanya aparat, tapi juga dalam bentuk perbaikan pelayanan publik yang baik dan memadai untuk masyarakat Papua, terutama pendidikan karena itu adalah hal yang paling penting.

“Negara harus hadir di Papua bukan hanya dalam bentuk keberadaan aparat keamanan, tetapai juga dalam bentuk-bentuk pelayanan publik, misalnya fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua. Pendidikan adalah salah satu hal yang penting dalam pembangunan. Tanpa pendidikan kita tidak akan bangun, kita bisa bangun melalui pendidikan karena dengan pendidikan tembok pun akan hancur”, tegas Rifki.

Ratih Amalia Lestari melihat kericuhan beberapa hari terahir ini, rasanya sangatlah miris sekali. Selain banyaknya kerusakan dan korban atas kejadian tersebut, tetapi juga menimbulkan ketakutan, kegelisahan, dan trauma terutama banyak dirasakan oleh perempuan, mereka mau pergi jadi takut, mau ke tempat umum juga takut.

“Melihat yang terjadi kita sangat miris, dan ini menimbulkan traumatic terhadap perempuan, mereka jadi takut untuk bepergian dan beraktifitas ditempat umum”, ujar perempuan yang juga aktivis PMII ini.

Dalam pandangannya, penyampaian aspirasi dengan cara demonstrasi seperti yang terjadi akhir-akhir ini memang tidak salah, bahkan hal itu juga dilindungi oleh negara. Hanya saja, apakah aspirasi yang disuarakan benar-benar sudah di telaah, didiskusikan, dan di rembukkan bersama. Jangan sampai aksi-aksi yang kita lakukan justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang sering kini disebut dengan “penumpang gelap”.

“Demonstrasi memang tidak salah, hanya saja, apakah aspirasi yang disuarakan benar-benar sudah di telaah, didiskusikan, dan di rembukkan bersama, jangan sampai aksi-aksi yang dilakukan justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu”, imbuh Ratih.

Dia juga menjelaskan bahwa kita yang di Papua, baik itu pendatang maupun asli Papua adalah saudara, seperti yang disampaikan Guru dan Bapak kita semua, KH Abdurrahman Wahid, kita adalah saudara dalam kemanusiaan, maka mari kita jaga erat persaudaraan kita ini.

“Kita adalah saudara dalam kemanusiaan, jika kita memang tidak satu suku, tapi kita satu bangsa, jika kita tidak satu bangsa tapi kita sama-sama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi tidak perlu untuk melukai sesama saudara, karna sejatinya kita ini semuanya adalah saudara sebangsa, setanah air”, tegas Ratih

Dalam pandangan M. Saleh Rumatoras, demonstrasi yang berujung kerusuhan telah terjadi belakangan ini di Jayapura, Manokwari, Fak-fak dan lain-lain adalah perpanjangan insiden rasisme di Jawa Timur (Malang dan Surabaya) yang melibatkan mahasiswa Papua. Saudara-saudara mereka yang berada di tanah Papua tidak terima dengan perlakuan tersebut dan turun ke jalan untuk menuntut keadilan.

“insiden yang terjadi kemarin adalah bentuk kekecewaan masyarakat Papua terhadap perlakuan masyarakat Jawa Timur terhadap saudara-saudara mereka disana”, ungkap Saleh.

M Saleh pun mengajak semua yang hadir untuk merefleksikan ulang, apakah apa yang terjadi di Jawa Timur sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

“Sebagai negara yang menjadikan Pancasila sebagai ideology untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, marilah kita renungkan bersama realitas-realitas yang terkandung di dalam nilai-nilai Pancasila. Apakah kejadian-kejadian di Papua ini pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-perikemanusiaan yang adil dan beradab, dan apakah penderitaan rakyat yang berada di pedalaman Papua pantas terjad ditengah bangsa yang berpersatuan Indonesia”, imbuh Saleh.

Diapun berpesan kepada semua saudara-saudaranya, kita boleh mengekpresikan kekecewaan kita dalam bentuk demontrasi, asalkan masih pada koridor hukum dan positif, jangan merusak fasilitas publik dan jangan sampai mengganggu jalan aktivitas masyarakat

“Kita boleh-boleh saja menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi, tetapi perlu di garis bawahi bahwa dalam penyampaian aspirasi tersebut haruslah dilakukan dengan demonstrasi yang positif. Artinya kita jangan melakukan demonstrasi secara anarkis, jangan merusak fasilitas publik dan jangan sampai mengganggu jalan aktivitas masyarakat umum”, ujar Saleh.

Dalam penutupannya, M Saleh berpendapat bahwa konflik kekerasan yang belum mampu diselesaikan secara adil merupakan bukti kegagalan dalam berideologis karena kita masih mengkedepankan pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik di Papua. Padahal seharusnya, kita menggunakan kekuatan dan daya Tarik ideology Pancasila untuk meyakinkan orang Papua tentang makna menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang berideology Pancasila baik dala kata maupun perbuatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

− 4 = 5