Fadly Zon : PP 72/2016 'Fait Accompli' Pengawasan DPR RI Cukup Indosat Jangan Kebodohan Terulang

WARTAHOT – Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN, sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 72/2016 yang dirilis pemerintah Jokowi di penghujung tahun 2016, dinilai menggunting pengawasan DPR terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau bentuk fait accompli terhadap DPR, kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, saat ditemui.

Lanjutnya, ini tidak boleh dibiarkan. Jangan sampai kekayaan negara kita, baik yang berupa kekayaan alam, maupun BUMN, sedikit demi sedikit kemudian tidak lagi berada dalam penguasaan dan kontrol negara. Sudah cukup kasus lepasnya Indosat dulu, jangan kebodohan terulang lagi.

PP No. 72/2016 menjadi upaya lanjutan menggunting pengawasan DPR terhadap BUMN. Dimana upaya awalnya dimulai saat pemerintah mendorong BUMN untuk membuat utang sendiri, yang dilakukan sejak 2015 lalu.

PP No. 72/2016 melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN dengan tanpa harus melalui persetujuan DPR, jelas ini sangat bermasalah. Bahkan bisa mengarah kepada pelanggaran konstitusi yang serius.

Karena semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek APBN, yang pembahasannya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23, harus dibahas dan disetujui oleh DPR. Itu juga merupakan ketentuan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

“Sebagai obyek APBN, maka setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara haruslah sepengetahuan dan mendapatkan persetujuan DPR. Pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan undang-undang, dan bahkan konstitusi,” tegas politisi Gerindra ini.

Penerbitan PP No. 72/2016 ini, patut diduga keras ada kaitannya dengan rencana Kementerian BUMN yang meminta Pertamina untuk mengakuisisi Perusahaan Gas Negara (PGN). Itu sudah jadi kontroversi dalam dua tahun terakhir, karena banyak sekali keanehan dalam rencana itu.

Pertamina adalah perusahaan negara yang seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah, terangnya,  sementara PGN adalah BUMN yang sudah go public dan sebagian sahamnya dimiliki asing. Sebelum Pertamina mengakuisisi PGN, PGN akan mengakuisisi terlebih dahulu Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang core business-nya sama dengan PGN.

Upaya membangun Holding BUMN migas banyak hal yang ganjil terkait rencana itu. Dan keganjilan itu kini ingin diloloskan dari pengawasan dan kontrol DPR melalui penerbitan PP No. 72/2016. (tjo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 + 1 =