Ambang Batas Parlemen, Pragmatisme Parpol Bertentangan Asas Perwakilan

WARTAHOT – Ambang batas parlemen menjadi sisi pragmatisme partai politik (Parpol) dalam setiap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Topik inilah yang selalu diributkan bukan soal aturan yang menjamin asas keterwakilan rakyat serta terbentuknya pemerintahan yang efektif. Mereka hanya sibuk membahas aturan yang memengaruhi keberadaan mereka di jagad politik nasional.

Angka ambang batas parlemen dimaksudkan untuk penyederhanaan parpol di parlemen agar roda pemerintahan berjalan efektif. Namun, peningkatan ambang batas parlemen tak selalu berbanding lurus dengan tujuannya. Pemilu 2014 buktinya. Peningkatan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi 3,5 persen justru menambah jumlah parpol yang memperoleh kursi di DPR, yakni menjadi 10 parpol. Padahal, pada periode 2009-2014, parpol di DPR berjumlah 9.

Dalam pembahasan RUU Pemilu 2019, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, Lukman Edy, mengatakan, ada lima opsi ambang batas parlemen yang ditawarkan seluruh fraksi untuk Pemilu Legislatif 2019. Ada yang mengusulkan sebesar 0 persen; 3,5 persen; 5 persen; 7 persen dan 10 persen.

Sementara Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menilai, partai besar cenderung ingin meningkatkan ambang batas parlemen untuk menyingkirkan partai kecil. Golkar, misalnya, mereka mengusulkan ambang batas parlemen hingga angka 10 persen. Karena pada pemilu lalu, Golkar mendapatkan 14,75 persen suara sah nasional. Begitu juga Nasdem menginginkan ada peningkatan hingga angka 7 persen meski pada 2014 mereka hanya memperoleh 6,72 persen suara.

Jika menggunakan usulan Golkar 10 persen, maka parpol yang lolos berdasarkan pemilu legislatif 2014 hanya empat parpol yakni PDI-P 23.681.471 suara (18,95%), Golkar 18.432.312 suara (14,75%), Gerindra 14.760.371 suara (11,81%), dan Partai Demokrat 12.728.913 suara (10,9%). Jika berdasarkan usulan Nasdem, maka yang lolos hanya enam parpol yakni empat partai tadi ditambah dua parpol yakni PKB 11.298.950 suara (9,04%) dan PAN 9.481.621 suara (7,59%). Sementara, jika menggunakan skema 3,5 dan 5 persen, maka konfigurasi parpol di DPR akan sama seperti sekarang.

Namun, menurut Titi, peningkatan ambang batas ke angka yang lebih tinggi justru tidak baik karena bertentangan dengan asas keterwakilan. Padahal instrumen penyederhanaan parpol bukan hanya pada peningkatan ambang batas parlemen tetapi juga pada penyederhanaan fraksi yang pembentukannya bisa saja tak berdasarkan parpol. Istrumen lainnya bisa pada kerja sama politik yang dibangun antar beberapa parpol. Bisa penyederhanaan fraksi dan pengurangan jumlah kursi di tiap dapil (daerah pemilihan) maksimal hanya menjadi 6 kursi, misalnya.

Sedangkan koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai RUU Pemilu yang menjadi payung hukum pemilu serentak 2019 belum meneguhkan kekuatan pemilih tercermin dalam sistem pemilu yang digunakan apakah semakin meneguhkan kekuatan pemilih dalam proses pengambilan keputusan atau sebaliknya. Maka memperhatikan subtansi RUU tersebut ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada.

Dalam sistem Pemilu yang diajukan, RUU menyebutkan Pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik. Jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi di mana suara Parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7 dan seterusnya. Dan Ambang batas perwakilan sebesar 3,5 persen untuk DPR. Perubahan paling signifikan terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai. Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan nomor urut, jelasnya.

“Terbuka terbatas secara subtansial sesungguhnya tertutup. Seakan-akan terbuka, padahal tertutup. Kedaulatan pemilih dibuat seakan-akan partisipatoris. Jalan tengah yang diambil (terbuka terbatas) tetap membuat kehendak mayoritas pemilih terhalangi. Plihan sistem Pemilu terbuka terbatas juga tidak menjawab persoalan yang selama ini kita alami. Dan sesungguhnya, yang dibutuhkan adalah mempertahankan sistem proporsional terbuka suara terbanyak, mewujudkan sistem penegakan hukum yang kuat, serta mengatur proses pencalonan untuk membangun soliditas kepartaian maka harapan publik untuk mendapatkan proses Pemilu yang lebih adil dan berkualitas semakin terwujud, pungkasnya. (tjo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

− 3 = 6