Mengenal Habib Ali Kwitang

FOKUSATU-Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi atau yang lebih kita kenal dengan Habib Ali Kwitang, lahir di Betawi pada tahun 1868 (dari sumber lain disebutkan 20 April 1870) dan wafat pada 13 Oktober 1968 dalam usia satu abad. Habib Ali mendirikan majelis taklim sejak ia berusia 20-an tahun. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang, dan di dekatnya didirikan Madrasah ‘Unwanul Falah’.

Maulid Nabi yang diselenggarakan tiap tahun di Majelis Habib Ali Kwitang sudah berusia lebih 80 tahun, dan menyedot banyak pengunjung. Mereka yang hadir bukan saja dari Jakarta dan berbagai kota di tanah air, tapi juga dari Singapura dan Malaysia.

Melalui Madrasah Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern, para ulama dan kiai generasi tua di Ibu Kota umumnya merupakan murid dari Habib Ali. Diantara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di majelisnya adalah KH. Abdullah Syafiie dan KH. Tohir Rohili. Habib Ali pun mempersaudarakan keduanya dengan putranya, Habib Muhammad al-Habsyi.

Ada yang menarik dalam hubungan Habib Ali dan murid-muridnya ini. Contohnya saat pemilu tahun 55. Habib Ali, sekalipun tidak menampakkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain, tapi lebih dekat ke NU.

Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada, Jakarta, Habib Ali diminta membaca do’a. Ia juga banyak memiliki murid orang-orang NU, termasuk ketua umumnya waktu itu, KH. Idham Chalid, yang sering datang ke Majelisnya.

Sedangkan KH. Abdullah Syafiie justru menjadi aktivis dan tokoh Partai Masyumi di Jakarta. Dalam pemilu 1955, NU dan Masyumi cukup seru dalam bersaing memperebutkan massa pemilih. Tetapi perbedaan partai ini tidak berdampak sedikit pun terhadap hubungan akrab guru dan muridnya ini. Ustadz Salim Bahfen, salah seorang muridnya yang juga aktivis Masyumi malah diangkat menjadi ketua Masjid Al-Riyadh.

Di dalam majelis-majelis taklim para ulama Betawi lebih giat untuk mengajak umat menjaga ‘akhlakul karimah’, bukan mempolitisir. Hampir tidak ada diantara mereka yang mau membesar-besarkan perbedaan, apalagi kalau perbedaan ini hanya masalah khilafiah. Majelis taklim Habib Ali terbuka untuk siapa pun. Majelis ini juga sering didatangi oleh orang-orang Muhammadiyah. KH. Abdullah Salim, pimpinan Masjid Al-Azhar Kebayoran yang Muhammadiyah, sering berpidato di Kwitang.

Rupanya, dalam menjaga ‘ukhuwah Islamiyah’ kita perlu banyak belajar dari para ulama tempo dulu. Mereka tak ingin punya banyak musuh, kecuali kejahatan, penjajahan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran. Mereka berpegang pada peringatan Allah, “Kalau kita tidak bersatu kita akan hancur”. Serta peringatan Nabi, “Setiap muslim adalah bersaudara”.

Sumber: Kisah Betawi Tempo Doeloe. Alwi Shahab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

37 + = 42