Ini Kata Sayyidi Marzuki,SH,MH Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif

FOKUSATU – Sayyidi Marzuqi, S.H., M.H, seorang pendakwah dan advokat menanggapi fenomena hukum yang kerap membawa akibat yang berkepanjangan dalam hal perkawinan beda agama. 

Menurutnya, bukan saja satu orang, hubungan keluarga pun dapat terkena dampak dari perkawinan beda agama yang kerap terjadi di lingkungan kita. Dalam hal ini orang awam pun asing mendengarnya karena dalam sebuah perbedaan sangat sulit disatukan, perbedaan agama dalam hal tersebut melebur menjadi satu ikatan perkawinan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut salah seorang anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Ust Sayyidi Marzuqi, S.H.,M.H, perkawinan merupakan akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal dalam melakukan suatu hubungan serta adanya hak dan keawjiban di antara keduanya. Oleh karena adanya hak dan kewajiban maka perkawinan beda agama perlu di kaji ulang agar mendapatkan suatu kepastian hukum, di mana dalam hal ini perlu dilihat dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif.

Dalam perspektif hukum Islam, menurut Ust H. Sayyidi Marzuki,S.H.,M.H tujuan perkawinan adalah membangun generasi beriman dan untuk menjaga keluarga dari murka Allah swt (api neraka). Sebagaima hal ini dijelaskan oleh Allah swt di dalam Al Qur’an “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (Q.S At Tahrim:6)

Dari kutipan ayat Al Qur’an di atas, advokat muda lulusan S1 Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berpendapat, bagiamana mungkin kita dapat melaksanakan perintah Allah swt untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka sedangkan salah satu pasangan berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Sebuah rumah tangga sangat diharapkan membangun generasi beriman. Dan iman kita menjadi jaminan bahagia di dunia dan akhirat.

Advokat muda lulusan pasca sarjana Hukum Universitas Tama Jagakrsa ini mengutip sebuah ayat tentang larangan seseorang menikah dengan orang yang bukan muslim, sebagaimna firman Allah swt “ dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman” (Q.S Al Baqarah:221) dan di ayat yang lain Allah swt berfirman “ mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka” (Q.S Al Mumtahanah: 10)

Dalam hal ini, Sayyidi Marzuqi mengutip pendapat Dosen Hukum Islam UI, Farida Prihatini yang pada prinsipnya ia berpendapat “agama-agama lain juga tidak membolehkan (perkawinan beda agama) bukan hanya agama Islam, semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya”.

Masih dalam perspektif hukum Islam, bahwa dalam larangan perkawinan beda agama MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang isinya adalah 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

Dari pendapat-pendapat di atas, hukum Islam sangatlah jelas bahwa perkawinan beda agama adalah tidak diperbolehkan (Haram). Oleh karena adanya hukum keharaman atas perkawinan ini, jika dalam hal akibat perkawinan beda agama tersebut lahir seorang anak maka patut disebut anak zina, karena dianggap tidak ada perkawinan sebelumnya.

Anak zina dalam hukum Islam, tambah Sayyidi Marzuqi, pengacara yang aktif berdakwah ini adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dalam aturan Islam. Walaupun pada dasarnya semua anak yang lahir dalam keadaan suci, namun tidak dapat mengesampingkan hukum asal atas keberadaan anak tersebut. Al Imam Bakry dalam Kitab I’anatu At Thalibin Juz 2 Halaman 128 menjelaskan kedudukan anak zina bahwa anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayahnya, ia hanya dinasabkan pada ibunya”.

Dari keterangan status anak zina yang tidak memiliki nasab kepada ayahnya, maka anak zina tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya dalam hal waris, menikahkan anak dan lain sebagainya namun hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu bahkan tentang status anak zina juga dapat dilihat dalam Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012.

Sayyidi Marzuqi, S.H, M.H

Dalam perspektif hukum positif, menurut Sayyidi Marzuqi, S.H, M.H, perkawinan beda agama harus merujuk terlebih dahulu pada undang-undang Nomor 01 Tahun 1974. Dalam hal hukum positif perkawinan menurut pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk kelurga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Dalam hukum positif juga diatur syarat sahnya perkawinan, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaannya itu dan ayat 2 nya menjelaskan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku.

Dari penjelasan beberapa pasal di atas dalam UU Nomor 1 tahun 1974, jelas bahwa adanya perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, sahnya perkawinan apabila dilakukan berdasarkan hukum / ketentuian masing-masing agama dan setelahnya tiap-tiap perkawinan wajib dicatatkan.

Oleh karena itu bila dikembalikan pada dasar ketentuan hukum agama, maka sangat jelas dalam kaitan dengan perkawinan, Islam sangat melarang perkawinan beda agama berdasarkan dali-dali yang kuat dan Fatwa MUI. Apabila hal tersebut dilanggar maka sangatlah beralasan hukum, bahwa perkawinan beda agama tersebut tidak dapat dicatatkan di kantor catatan sipil sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia.

Menurut Ust H. Sayyidi Marzuqi,S.H.,M.H, masih banyak warga negara Indonesia yang tetap melangsungkan perkawinan beda agama hanya karena alasan cinta. Setidaknya ada empat cara yang ditempuh untuk melegalkan perkawinan beda agama. Pertama , meminta penetepan pengadilan yaitu dengan merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986). Kedua, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama. Ketiga penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan ke empat menikah di luar negeri.

Namun, ditegaskan ustadz dan pengacara muda ini, walaupun ke empat cara tersebut dilakukan maka tetap akan kembali pada hukum asal yaitu agama masing-masing yang dianut oleh pasangan. Islam sangat jelas melarang perkawinan beda agama dan jika dipaksakan, kemudian berakibat lahirnya seorang anak dari perkawinan beda agama maka anak tersebut sebagai anak zina karena sebelumnya tidak dianggap adanya perkawinan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

60 − = 55