Perkumpulan Santri Pasundan Pada Ridwan Kamil: Ingat, Celana Dalam Bapak Dibiayai Rakyat

FOKUSATU-DR (C) Hendro Sugiarto, SE.,M.MKMT selalu Sekjen Perkumpulan Santri Pasundan mengingatkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tentang resiko pencitraan. 

Dalam ajaran Islam, mengkritik dan meluruskan suatu kesalahan adalah keniscayaan. Dalam tata-ritus misalnya, bila seorang imam shalat salah, sekecil apapun, maka wajib diluruskan. Mahfum mukhalafah-nya, membiarkannya merupakan tindakan yang diharamkan, karena sama saja menjerumuskan semua orang ke dalam kesalahan.

Dalam sholat, kritik itu berarti mengingatkan saat soarang imam yang lupa atau tak sengaja melakukan sedikit kesalahan. Tegasnya, hal Ini berlaku bagi kesalahan yang mungkin terjadi bukan atas dasar kesengajaan.

Sementara dalam kehidupan bernegara, sikap kritis merupakan tindakan konstitusional. Bahkan, tak boleh memandang sikap kritis sebagai langkah untuk menjatuhkan atau mempermalukan. Dan bagi mereka yang anti-kritik sama saja menikam demokrasi dengan penuh kesadaran.

Atas dasar ajaran Islam yang saya yakini, juga atas hak dalam kehidupan bernegara itulah, saya ingin mengingatkan Gubernur Jawa Barat yaitu bapak Ridwan Kamil. Sebelumnya perlu diketahui bahwa cara kami adalah dengan cukup melontarkan kritik, tidak dengan meminta kang Emil mundur atau melaporkan kesalahannya pada aparat penegak hukum. Alasannya, apa yang Gubernur lakukan adalah suatu kesalahan yang menurut kami mudah-mudahan bukan suatu yang secara sengaja dibuat demi mendholimi rakyat dan dirinya tetapi lebih karena kelalaian diri, mungkin karena saking kuatnya suatu ambisi dan/atau masukan dari para penjilat juga kroni.

Pertama, Soal Politik Pencitraan.
Dan jika terlalu mengedepankan citra, Bapak Ridwan Kamil tak hadir sebagai seorang sosok pemimpin Jawa Barat, melainkan muncul sebagai pemuas nafsu pasar demokrasi yang liberalistik.

Demi popularitas di mata publik, kang Emil terus mencari simpati, bahkan jika dibiarkan, kang Emil bisa tanpa sadar lama-kelamaan dapat menjatuhan diri ke tahap gangguan psikologis berupa narsisme akut. Dan adakah indikasi menuju ke arah sana? Saya mempersilahkan masing-masing kita sebagai manusia yang memiki akal dan rasa untuk bebas menilainya.

Kedua, Maka Hati-hatilah.
Kesalahan kecil jika dibiarkan dengan seiring waktu akan menjadi besar dan akut. Bagaimana tidak, dalam kehidupan sekarang tak terkecuali para politisi, apapun diekspos, meski harus mempertontonkan potret kebahagiaan editan, cantik editan, takwa editan dan lain-lain. Dan Kang Emil bisa saja dicitrai “saruana” atau bahkan pelopornya. Hingga akhirnya masyarakat menilai kelakuannya tak jauh beda dengan selebgram dan youtuber yang nafsu tampil, meski sama sekali tak punya korelasi dengan amanah warga Jawa Barat dan relevansi dengan kontitusi. Tentu saja ini sangat membahayakan, lebih-lebih seorang pejabat negara yang makan-minumnya hingga celana dalam yang digunakannya menggunakan uang dari pemberian rakyatnya.

Ketiga, Secara Sosiologis.
Perilaku sebagian politisi kita bisa masuk dalam tahap perilaku menyimpang. Tindak-tanduk yang overdosis medsos ini menggerus nilai-nilai budaya luhur kebangsaan. Bahkan secara agama bisa masuk dalam kategori riya. Sementara riya adalah pintu menuju kemusyrikan.

Keempat, Masih dalam Hal Pencitraan
Saya juga ingin mengingatkan sikap-sikap kang Emil, jangan sampai terjerumus mengumbar kepura-puraan. Hingga kursi kepemimpinnya dipenuhi komestik yang begitu tebal. Apapun itu jika ini terjadi, kang Emil adalah pejabat negara. Jangan sampai negara dikelola sebagai panggung sandiwara. Rakyat terhibur sesaat dalam adegan-adegan yang penuh dramaturgi. Namun sejatinya, di balik layar gedung Pakuan, Kang Emil terbahak-bahak, sementara rakyat Pasundan makin jauh dari kesejahteraan. Kecuali, bagi mereka yang mampu menjilat dan juga melakukan sikap-sikap yang sama-sama penuh dramaturgi. Politik pun tak lagi berpihak pada rakyat banyak tetapi hanya untuk menghidupi mereka yang terdekat dan berada di lingkar kekuasaan. Tentu ilustrasi Ini adalah suatu ‘warning’ bagi kita semua.

Kelima, Para Politisi Khususnya Kang Emil Wajib Sadar.
Karena sejatinya berbagai penyimpangan atau perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebangsaan, budaya luhur dan agama itu bukanlah tujuan dari teknologi itu sendiri, khususnya berbagai perilaku “mubazir” yang banyak menjangkit kelompok usia Milenial dan remaja bisa dikatakan ‘Cyber Crime’ atau kejahatan di dunia maya. Kenapa saya katakan sekasar itu, karena faktanya budaya tak senonoh tersebut yang secara masif menggerus dan menggilas nilai-nilai baik yang ada.

Keenam, Awalnya Seperti Sepele.
Kelakuan pencitraan politisi ini memang seperti hal yang sepele, tapi mari kita lihat dampaknya. Tanpa disadari perilaku Ini berdampak pada persepsi masyarakat bahwa budaya narsis dan ekspos kepura-puraan mesra telah “diamini” politisi. Artinya dipahami publik telah mendapat legitimasi. Dengan alasan konyol, katanya, “karena para pemimpin pun bagian yang melakukanya”. Padahal tanpa sadar ia adalah penyakit wabah, sebagai anak haram demokrasi liberal dan teknologi modern khususnya dunia maya _(cyber space)_ ini.

Dan Kenam Hal di atas merupkan rosiko yang mungkin sudah terjadi di kehidupan kita, lalu adalkah konsekwensi ke-selanjutnya ? Jawabanha “ada”. apalah itu ? “terdegradasinya wibawa negara dan menurunnya kualitas kepemimpian bangsa”

Sebelumnya mohon dipahami, politik pencitraan Ini sebenarnya sah-sah saja dan dapat dimaklumi karena sebabnya tuntutan realita. Namun, tentu ketika semua itu dilakukan dengan sewajarnya, tetap bersikap jujur apa adanya, menjungjung tinggi moralitas serta dengan tujuan agar jadi contoh baik bagi manusia.

Namun, berbeda dengan pencitraan yang penuh kepura-puraan, senyum-senyuman, petani-petanian, kyai-kyaian dan semisalnya. Karena cara Ini bisa meruntuhkan wibawa negara. Dan akibat terdekatny, dunia poltik akan dipenuhi aktor-aktor rendah moral dan rendah nalar namun memiliki nafsu tinggi pada materi dan posisi, mereka merasa punya opportunity hanya karena ia melihat bahwa syarat menaiki tangga demokrasi dalam rangka menjadi pemimpin negeri ternyata cukup diraih oleh strategi basa-basi. Dengan kata lain, Cukup dengan talenta pura-pura bak pemain sinetron layar kaca, organisasi negara yang menawarkan harta dan tahta rupanya bisa dengan mudah dapat diambilnya.

Maka membludaklah para transmigran politik itu karena sebenarnya terundang oleh keadaan yang mereka tonton. Dan rakyat pun tak bisa lagi membedakan mana yang asli dan yang palsu, yang berkualitas dan yang rendahan karena satu sama lain tidak memliki diferensiasi yang jelas. Akhirnya kemenangan dan kekalahan pun tidak ubahnya bagaikan perjudian dengan nama mesin lotre kontestasi demokrasi setengah liberal.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

67 + = 76