FOKUSATU-Sosok seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akhir-akhir ini menjadi perbincangan publik, alih-alih banyak kebijakan kontroversi yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Sejak dilantik pada bulan Oktober 2019 lalu, publik mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi terutama kalangan pendidik yang mengangkat seorang menteri Pendidikan yang minim memiliki pengalaman dalam sistem pendidikan nasional maupun di birokrasi, selain basic pendidikan berasal dari luar negeri, juga kebijakan-kebijakan yang di ambil cenderung menimbulkan kontroversi. Beberapa contoh kebijakan kontroversi, seperti menunjuk pelaksana tugas pejabat eselon I dan II di Kemendikbud, yang berakhir dengan digantinya para pejabat-pejabat tersebut dengan pejabat baru yang membuat perlu ada adaptasi kembali. Hal itu juga menyebabkan kegagapan dalam pergerakan dan penyerapan anggaran Kemendikbud. Bahkan di Biro perencanaan pendidikan lebih fokus pada pengaturan anggaran bukan pada bagaimana mempersiapkan kualitas tenaga didik melalui pelatihan yang terintegrasi.
Selanjutnya mengenai penghapusan Nomenklatur Pendidikan Masyarakat dan Kesetaraan yang memicu demonstrasi besar-besaran dari pegiat pendidikan non-formal yang seakan dinomorduakan. Kemudian kontroversi membayar iuran sekolah melalui Gopay, dan kerja sama Kemendikbud dengan Netflix, kebijakan pemotongan anggaran tunjangan profesi guru di satuan pendidikan kerja sama (SPK), dihapuskannya Ujian nasional dan aksi mahasiswa pada masa pandemi ini karena menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT). di tengah pandemi dan amburadulnya implementasi pembelajaran jarak jauh (PJJ), Nadiem kembali mengeluarkan kebijakan yang membuat gaduh, yakni Program Organisasi Penggerak (POP) yang membebankan anggaran APBN. Seperti diketahui, tiga organisasi besar di Indonesia menyatakan mundur dari kepesertaan program tersebut, yaitu NU, Muhammadiyah, dan PGRI menunjukan bahwa ini ada masalah yang serius.ditambah lagi muncul kebijakan seperti Kampus Merdeka serta keleluasan membuka prodi seolah memangkas birokrasi namun justru akan menggerus nilai-nilai ruh pendidikan yang di persiapkan para ahli sebelumnya.
Setiap tahun sistem penerimaan siswa baru (PPDB) yang berbasis on line kerap menimbulkan gejolak sosial bagi masyarakat, terlebih orang tua yang anaknya tidak bisa diterima di sekolah negeri. Bukan cuma soal ekonomi, tapi juga rasa keadilan dan kesetaraan (justice and equal). Tidak sedikit anak yang tidak bisa mengenyam dunia sekolah karena gagalnya sistem pendidikan yang semakin liberal dan kapitalistik. Ketika satu saja seorang anak putus sekolah, apalagi karena persoalan biaya dan ukuran kepandaian normatif, maka secara umum negara bisa dianggap telah gagal dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Memang pendidikan tak ubahnya seperti obat yang bisa mengangkat nilai manusia, namun dilain sisi bisa menjadi virus yang ganas yang membunuh mimpi dan harapan anak menatap masa depannya.
Terutama ditengah pandemi Covid-19 yang juga berdampak pada pendidikan dan psikis anak. Keberadaan guru jadi semakin terasa dan sangat dibutuhkan. Tapi sayangnya, tak ada effort yang sungguh-sungguh dari negara untuk memberi perhatian pada guru, bahkan sekedar pengakuan saja. Rasanya, bukan hal yang sulit seorang menteri pendidikan mengatakan, betapa susahnya menjadi seorang guru. Profesi yang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya demi mencerdaskan bangsa. Saat kinerja guru terus disorot seiring kurangnya adab, etika dan penghargaan terhadap mereka. Mirisnya, kadang-kadang tidak sedikit guru dikriminalisasi, atau di persekusi di media sosial seperti yang terjadi di Garut beberapa waktu lalu sehingga para guru wajar bereaksi. Tidak memungkiri bahwa ada oknum-oknum guru yang melanggar kaidah-kaidah sistem ajarnya.
Seiring itu pula, orang tua dirumah kebingungan dan penuh kecemasan sembari menutupi fakta betapa sulitnya memberikan pengajaran limu dan pengetahuan umum kepada anaknya. Terutama mengatasi masalah psikologi betapa sekolah telah menjadi Habit dan “life style” tersendiri bagi anak saat sekolah diliburkan panjang, selain pendidikan yang didapat dari keluarga di rumah.
Terkait berbagai persoalan di atas yang tidak mungkin kita ungkap berbagai persoalan dalam tulisan ringkas ini, saya bukan bermaksud Subjektif terhadap saudara Mentri Nadiem Makariem, karena dia adalah seseorang muda yang cerdas, mewakili kaum milenial, punya leadership dan layak menjadi menteri. Namun di Wilayah pendidikan menurut saya bukanlah tempatnya, bisa saja di tugaskan di bidang lain seperti menkoinfo atau menteri UKM dan Koperasi yang kafabel dengan keahliannya. Jangan karena ada deal politik saat pilpres, lalu masyarakat dan generasi menjadi korban, karena pendidikan adalah prinsip dasar maka harus di ketengahkan sosok akademisi yang mumpuni di bidangnya, sehingga arah kebijakannya akan in line tidak out line, apalagi memerankan gimik kebijakan online.
Yang menjadi mentri pendidikan itu harus memahami philosofi Pendidikan Indonesia berdasarkan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta faham sejarah pendidikan bahkan sebelum Indonesia lahir, di harus seorang Ideolog atau bahkan seperti seorang Guru yang faham akan kebijakan strtegis serta prinsip dasar pendidikan, bukan sekedar knowledge tapi juga harus paham akan positioningnya, kalau tidak ini bisa fatal karena terkait mempertaruhkan cita-cita bangsa. Bangsa Indonesia dengan berbagai agama, Suku dan budaya tidak bisa di generalisir kebijakannya ini negara yang unik namun kita lihat betapa menjamurnya pendidikan asing di negeri ini, sementara hampir tidak ada negara yang membuka sekolah asing di negaranya karena ini masalah identitas bangsa. Haruskah identitas bangsa kita terus tergerus lalu di tukar dengan pola-pola asing? Inilah betapa strategisnya kementrian pendidikan dan kebudayaan.
Saya mempertanyakan hal ini pada seorang pakar Pendidikan mantan Kepala Humas Kemendikbud Prof Ibnu Hamad yang memaparkan pentingnya mengimplementasikan UU sisdiknas serta mewujudkan 8 standar Pendidikan yang menjadi fatsun pokok arah kebijakan pendidikan nasional. Sementara seorang Guru besar dan Ketua DEWAN pembina KarukunanTatar Sunda Prof.Dr.H.Yuddy Chrisnandi, ME.,SH mengatakan ” ruh dan jiwa Pendidikan Nasional akan hilang jika pemegang kendali kebijakanya tidak memiliki internalisasi Ideologi, filosofi dan history pendidikan Nusantara”
Akhirnya saya menyampaikan, atas dasar usulan, keluhan dan berbagai persoalan di masyarakat, demi mewujudkan cita-cita bangsa, bukan tidak menghargai kerja keras serta dedikasi Pak Nadiem selama ini, namun ini bukan pekerjaan atau perkara yang mudah perlu pakar khusus di bidangnya, ada Puluhan Guru besar, ratusan tokoh-tokoh akademisi yang konsen di bidangnya berikanlah mereka kesempatan untuk bertugas siapapun itu agar menjadi paripurna mendedikasikan diri mewakili idealisme para guru di republik ini.
Wallohua’lam
Aceng Ahmad Nasir,S.Ag.,MA
Ketua Umum Poros Pasundan