MHR Shikka Songge : Qurban,Monoteism Dan Kepemimpinan Bernegara

FOKUSATU-Alhamdulillah sejak kemarin Hari Idul Adha hingga hari ini Hari Tasyrik Terakhir dan beberapa hari ke depan umat islam masih menikmati sate, sop, soto, rendang, gulai dan dendeng, Semua bentuk masakan yang dinikmati itu sesungguhnya daging sapi atau daging kambing yang merupakan hewan qurban.

HAKEKAT QURBAN DAN MONOTEISME.
Qurban, sebuah legecy yang mensejarah dan mensyariah ini tiada lain, selain hadiah dari pertarungan keluarga nabi Ibrahim as, yg memperjuangkan tegaknya Monoteisme. Konsep Monoteisme ini menjadi penting bagi Ibrahim karena berfungsi untuk mengorientasikan hidup dan kehidupan manusia guna meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan diakhirat kelak.

Monoteisme mengajarkan keyakinan hanya kepada Allah sebagai zat yang mutlaq pemilik langit dan bumi, yang menciptakan manusia dan mematikan manusia, yang menciptakan rizki bagi setiap manusia. Konsep ini penting mengingat fenomena manusia pada zaman Ibrahim, menyembah berhala, mengagungkan, juga mendewa dewakan manusia.

Menganggap manusia super, sehingga tanpa sanggup mengoreksi apapun yang dilakukan oleh sesama manusia, meskipun tindaknya melampaui batas kemanusiaan. Prilaku manusia yang semena mena terhadap sesama manusia, berlaku lalim dan dzalim. Perlakuan tanpa akal sehat dan narasi kemanusiaan, sama halnya dengan penindasan. 

Kurban itu merupakan jalan yang dilewati, jalan kepasrahan kepada Allah. Makin berqurban maka semakin dekat pada perjumpaan denga Allah. Taqorrub itu membuahkan pandangan monoteistik. Monoteistik dilewati dengan ujian yang tidak ringan, mendekatkan kepada Allah ikhlas tanpa terhalangi oleh apapun. Cinta, harta kekuasaan tidak bisa menghalangi seseorang untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Permintaan penyembelihan Ismail dan kerelaan Ibrahim dan Ismail untuk mengabulkan adalah wujud kepatuhan yang tertinggi yang tak dapat dihalangi oleh siapapun.

Pangkal gerakan Monoteisme Ibrahim ini bermula dari ummat manusia di zaman Ibrahim tidak punya pandangan tenteng keesaan Tuhan. Tanpa pandangan monoteistik umat menjadi lemah, tidak punya optimisme untuk merahi suatu kemenangan, apalagi bisa keluar dari krisis. Olehnya umat di zaman Ibrahim tertimpa krisis, terhegemoni oleh kelaliman Raja Namrud. Maka nabi Ibrahim dan keluarga tak henti henti memperjuangkan dan mendawakan monoteisme.

Melahirkan konsep monoteisme, dan menjadi seorang pejuang moniteisme, lalu menginstitusikannya, tidaklah mudah. Butuh pertarungan terhebat, yang nyaris mengorbankan jiwa seorang anak manusia Ismail, yang telah lama dinantikan kehadirannya, oleh keluarga Ibrahim, Siti Sarah dan Siti Hajar. 

Suatu malam Ibrahim bermimpi bahwa ia menyembeli Ismail anak semata wayang yang baru sedang tumbuh. Kabar yang mengguncangkan tentu bagi Sarah dan Hajar. Tapi Ismail dan Ibrahim tegar menjalani perintah Allah. Ismail bahkan menyambut mimpi ayahnya dengan mempersilahkan ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah. Totalitas keikhlasan keluarga ini diganti dengan seekor kibas saat eksekusi penyembelihan dimulai.

Disinilah ketangguhan dan keikhlasan monoteis di uji. Ibrahim, Ismail, Sarah dan Hajar keempatnya diuji kesanggupan mereka untuk bertuhan pada Allah dan menjalani perintah Allah yaitu membawa Islam sebagai agama yang hanif, agama yang lurus.

HAKEKAT KEPEMIMPINAN MONOTEISTIK.
Adakah hari ini puluhan juta muslim di negeri ini, memahami dan menghayati tentang hakekat dari Qurban dan perjuangan menegakan monoteisme yang mahal ini ? Tentang kerelaan seorang ayah sejati Ibrahim, dan putranya Ismail, keduanya secara utuh menghambakan diri pada Allah, dan juga kepasrahan yang tulus Hajar dan Sarah menjalankan perintah Allah ? Perubahan besar hanya bisa terjadi bila satu keluarga yang berpandangan monolit pada monoteistik.

Ketangguhan keluarga Ibrahim yang istiqomah menghadapi ujian duniawi, rayuan dan cemburu kekuasaan, menjadi legacy peradaban kemanusiaan. Ibrahim telah menjadikan Bakkah bumi yang tandus, adalah bumi yang kemudian menjadi empirium menyuburkan tumbuhnya iman kaum monoteisme. Melahirkan Islam agama yang membawa nilai nilai kemanusiaan universal.

Pelajaran yang harus dipetik dari keluarga monoteistik dan monoloyalis ini, mereka mengambil jarak dari kekuasaan. Tidak bergumul dengan kekuasaan angkara murka. Mengingat kekuasaan angkara murka, sarat dengan kedzaliman, penuh fitnah, adu domba dan kemunafikian, hipockrit. Itulah postulat kekuasaan yang dibangun di atas landasan kemusrikan. Meskipun demikian dengan modal monoteisme melahirkan tindakan kritis, sikap yang lurus yang senantiasa melakukan kontrol yang ketat atas setiap anomali kekuasaan atau kedzaliman bernegara.

Pelajaran berikutnya, dari tonggak monoteisme. Pemimpin sejatinya menjadi guru yg mengajarkan tauhid, melahirkan prilaku kebijakan guna pelayanan kepada rakyat. Dengan landasan Tauhid, keesaan Tuhan, segenap rakyat dapat berfikir dan berpilaku secara benar dlm mendukung setiap kebijakan tata kelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Itulah pandangan substansif yang diletakan oleh para pendiri bangsa dlm sila Pertama Pancasila. Pemimpin yang menjadi teladan cara bernegara secara adil, terdidik dan terhormat. Pemimpin yg merawat persatuan bernegara, dan tidak menciptakan iklim buruk yg memperburuk cara bernegara. Adalah merupakan pemikiran besar yang telah ditanamkan para fonding fathers.

Pemimpin yang menjadikan integritas dan integralitas umat sebagai modal utama ketahanan bangsa dan negara. Sebaliknya pemimpin yang tidak melakukan tindakan kontraproductif yang melahirkan prahara dan tradisi buruk bernegara. Pemimpin tidak mengintimidasi rakyat dengan berbagai pandangan yang stigmatis, provokatif, intimidatif yang ujungnya memperlemah dan memecah belah kesatuan umat. Dalam konteks ini pemimpin tidak menjadi tonggak pembelajaran dan pantutan bagi rakyat, adalah pemimpin yang tidak berpandangan monoteistik.

Pemimpin yang sanggup menghentikan setiap angkara murka, dan kedzaliman yang mengancam kedaulatan rakyat dan integritas negara. Kepemimpinan tanpa Monoteisme melahirkan kebijakan yang tidak berorientasi kerakyatan, absurd, lemah tak sanggup menegakan keadilan hukum, ekonomi dan politik. Bahkan membiarkan prokontra dan perbedaan hidup meracuni dan menggerogoti moral masyarakat atas nama demokrasi.

Hadirnya RUU Omnibuslaw, RUU HIP serta serta berbagai pristiwa hukum yang ambigue, seperti kasus Pengadilan Nauval Baswedan, Kiflan Zen suatu contoh. Harun Masiku yang menghilang, dalam perkara Suap KPU. Joko Candra koruptor Bank Bali, keluar masuk Indonesia, buat KTP terakhir tertangkap, juga masih dipersoalkan otentitasnya.

Semua itu sebagai contoh dari tragedi hukum yang memilukan. Fenomena ini merupakan gamabaran buruk akan lemah dan rapuhnya landasan monoteisme dalam kehidupan bernegaraan kita. Ungkapan Tuhan oleh para penyelenggara pemerinta hanya hiasan bibir sikap bertuhan hanyalah pakaian yang nempel di badan. Padahal dimensi Ketuhanan yang seharusnya menjadi corak kebernegaraan kita. Sebab para fonding fathers telah meletakan KETUHANAN YG MAHA ESA pada urutan nomor satu tertuang dlm sila pertama Pancasila, ideologi negara.

HAKEKAT PEREMPUAN MONOTEISTIK
Petikan lain dari hikmah Qurban, adanya sosok Hajar dan Sarah. Hajar rela untuk dimadu dengan Situ Sarah Perempuan Hitam demi regenerasi peradaban profetic. Menyadari pentingnya kelanjutan generasi untuk meneruskan perjuangan monoteism, maka ia dengan senang hati Hajar menawarkan Nabi Ibrahim untuk menikahi siti Sarah.

Siti Hajar dan Sarah menjadi isteri penganut dan penerus monoteistik. Mereka tegar sebagai wanita mukmin dengan tidak peduli rayuan kapitalistik dan leberalistik. Saat itu kapatisme dan leberalisme tumbuh subur di sekitarnya yang bisa memperdaya siapapun. Namun hingar bingar kapitalistik dan liberalistik tidak sanggup menaklukan komitmen dan konsistensi keyakinan mereka sebagai penganut monoteisme.

Kedua wanita maskipun berbeda warna kulit dan keturunan ini, naun keduanya dapat hidup berdampingan sebagai isteri dengan tanggung jawab dan komimen yang sama mendukung dakwah monoteisme Ibrahim melawan kedzalim bernegara dibawa pimpinan Namrud laknatullah.

Di zaman modern kaum perempuan justeru cemas bahkan anti pada poligami. Perempuan muslim di abad milenial menjadi mesin yang paling efektif memproduksi kapitalsme dan penggerak liberalisme sosial. Kaum perempuan telah kehilangan kedigdayaan untuk menjadi benteng penyelamat peradaban profetic. Sehingga saat kita menyaksikan Kapitalisme dan liberalisme justeru hidup dalam rumah tangga kaum muslimin.

PENUTUP.
Harusnya di momentum lebaran qurban ini, air mata kita yang mengalir, iba dan malu pada sosok manusia manusia besar itu. Menyelenggarakan ibadah yaumul Ied al Qurban, adalah merakit jejak kejuangan, dari napak tilas monoteisme Ibrahim, Ismail, Sarah dan Hajar.

Melembagakan Jejek Monoteisme Ibrahim dan keluarga alaihimussalam, adalah membangun watak monoteisme pembebasan tradisi kejahiliaan dan kedzaliman bernegara. Seperti halnya Nabi Ibrahim as lakukan kepada Namrud.

Ciputat, 1 Agustus 2020
MHR Shikka Songge : Peneliti Politik dan Sosial Keagamaan CIDES

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

93 − 85 =