FIB Lakukan Uji Materi PMK No 3 Th 2020 Tentang Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit Ke MA

FOKUSATU-Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) bersama beberapa orang sebagai Pemohon / Para
Pemohon yang terdiri dari : Budi Raharjo, Dian Rut Palupi, Kartika Kusumawardani, Syam Anggoro, S.Si, APT, Fredy Caesar, Ismail, Hasan Ismail mengajukan Uji Materi Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ke Mahkamah Agung RI, Jumat/10 Juli 2020.

Para Pemohon memberikan Kuasa Khusus kepada Tim Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Yusuf yang berkedudukan diYusuf Building Mampang Square A-2, Jakarta, yang di wakili oleh Mirza dan kawan kawan. 

Praktek Profesi apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Rumah sakit telah
diatur pada PMK No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah Sakit.

Disebutkan bahwa peran profesi apoteker di Rumah sakit meliputi standar (1) Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Dan (2) Pelayanan Farmasi
Klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang tidak efisien sehingga
akan merugikan rumah sakit secara ekonomi dapat disebabkan akibat tidak adanya atau
kurangnya jumlah apoteker yang ada di suatu rumah sakit. Ditemukannya obat rusak,
kadaluarsa maupun tidak tersedia (obat kosong) menjadi kejadian ikutan. Sehingga pengelolaan yang tidak efisien dapat merugikan pasien akibat pasien tidak mendapatkan
sediaan farmasi, alkes maupun BMHP yang aman dan bermutu sesuai dengan kebutuhan
mereka. Munculnya PMK No. 3 tahun 2020 tentang klasifikasi dan perijinan rumah sakit
menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan pasien akibat tidak dikenalnya pelayanan
kefarmasian sebagai suatu pelayanan tersendiri dan hilangnya pelayanan farmasi klinis.

Dari sudut pandang ekonomi-kesehatan (Healtheconomy), berbagai studi menunjukkan
bahwa integrasi praktek apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien
di rumah sakit terbukti dapat memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung.

Manfaat dimaksud tidak hanya pada aspek klinis yang langsung dirasakan oleh pasien
namun juga sisi ekonomi yang harus ditanggung oleh pasien dan manajemen rumah sakit.

Peran apoteker dari sudut pandang klinis Permasalahan yang berkaitan dengan
penggunaan obat (Drug Related Problems – DRPs) di rumah sakit khususnya di Indonesia
termasuk sangat tinggi bahkan hingga mencapai 56%. Pada setiap 100 orang pasien yang di
rawat di rumah sakit, 56 diantaranya akan mengalami permasalahan yang berkaitan
dengan penggunaan obat baik yang ringan sehingga dapat ditahan oleh pasien hingga kasus
DRPs yang berat hingga menimbulkan kematian atau kecacatan permanen. Beberapa
contoh kasus DRPs yang sering terjadi adalah pasien yang memiliki indikasi penyakit
namun tidak mendapatkan obat (55,63%) dosis obat yang kurang (44,37%), standar
pemantauan penggunaan obat yang tidak diikuti (98,45%), dan pengobatan yang tidak
berdasarkan landasan ilmiah (2,82%). Peran apoteker dengan memberikan kontribusi nyata
dengan mempraktekan ilmu farmasi klinis pada pelayanan kefarmasian dipercaya mampu
mencegah DRPs.

Beberapa penelitian lain di Indonesia juga membuktikan bahwa apoteker di rumah sakit
secara signifikan mampu menurunkan angka kejadian Permasalahan yang berkaitan
dengan penggunaan obat (DRPs). Bukti-bukti yang dihasilkan melalui metode ilmiah yang
teruji validitasnya tersebut menunjukkan bahwa jumlah apoteker di rumah sakit yang cukup
dan mempraktekan pelayanan kefarmasian sesuai dengan PMK nomor 72 tahun 2016 dapat
memberikan manfaat secara klinis bagi pasien. Oleh karena itu, munculnya PMK No. 3
tahun 2020 mengancam tidak hanya praktek profesi apoteker, stabilitas manajemen rumah
sakit namun juga yang paling penting keselamatan pasien yang di rawat di rumah sakit.

Tujuan final JR PMK 03/2020 adalah dikabulkannya petitum diantaranya ;
1. Menyatakan Bahwa Pelayanan Kefarmasian merupakan Profesi yang Profesional dan
Mandiri sebagai bagian dari pelayanan Rumah Sakit.
2. Berfungsinya pelayanan Farmasi Klinis yang menjamin tidak adanya medication error
sehingga keselamatan pasien lebih terjamin dan menurunkan biaya pelayanan
kesehatan.
3. Adanya pengaturan jumlah SDM Tenaga Kefarmasian minimal yang harus disediakan
oleh RS sehingga pelayanan terhadap pasien bisa paripurna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

29 − = 28