FOKUSATU-Pemerintah mengganti istilah New Normal dengan Adaptasi Kebiasaan Baru. Hal ini diungkapkan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto dalam acara peluncuran buku “Menghadang Corona: Advokasi Publik di masa Pandemi” karya Saleh Daulay, Jumat (10/7/2020). Menurut Yurianto, masyarakat hanya fokus pada kata “normal”-nya saja, bukan kata “new” yang seharusnya menjadi pembeda masyarakat dalam menyikapi pandemi sesuai aturan-aturan kesehatan atau beradaptasi dengan kebiasaan baru.
Ironisnya euphoria yang tertangkap di masyarakat, memperlihatkan situasi yang memprihatinkan. Adaptasi kebiasaan baru justru dilihat sebagai situasi normal yang membuat orang-orang lupa bahwa pandemi masih ada disekitar kita.
Data menunjukan Indonesia terus mencatatkan angka peningkatan Covid, sejumlah 74.018 kasus per-11 Juli 2020. Khusus DKI Jakarta ada tambahan 359 kasus yang membuat Jakarta kembali menorehkan rekor baru tambahan kasus paling banyak dalam sehari.
Melihat fenomena ini, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Sumardiansyah Perdana Kusuma mengungkapkan keprihatinannya. Ia mengaku mendapatkan beberapa laporan dari Guru utamanya di sekolah swasta yang meminta para Guru kembali masuk ke sekolah secara normal. Hal ini tentu sangat meresahkan para Guru, apalagi ditengah adaptasi kebiasaan baru, masih banyak pengelola sekolah atau pemangku kebijakan, gagal memahami konteks adaptasi kebiasaan baru, sehingga memberlakukan sebuah program kebijakan tidak memperhatikan nilai-nilai baru sehingga akibatnya sangat merugikan guru. Misal mengenai potensi penyebaran melalui mesin handkey dan teman sejawat, begitu juga masih ditemukan beberapa sekolah mengerahkan semua Guru menjalankan aktivitas di sekolah tanpa ada penyesuaian jam kerja (tetap 8 jam/hari), lalu nasib para Guru yang berusia diatas 45 tahun, dan lain sebagainya, hal-hal ini perlu diperhatikan dengan cermat dan bijak. Padahal seharusnya ada beberapa penyesuaian di masa adaptasi baru ini, apalagi pemerintah sudah menetapkan Pembelajaran Jarak Jauh dilaksanakan sampai akhir tahun, sehingga bisa saja Guru-Guru tetap menjalankan aktivitasnya dari rumah, kalaupun memang diharuskan untuk hadir kesekolah maka perlu ada urgensi yang jelas melalui protokoler dan penjadwalan/piket yang ketat, seperti pembatasan jumlah Guru, pengurangan jam kerja, pendataan lokasi rumah terutama bagi pengguna angkutan umum, riwayat kesehatan, jenjang usia, serta zonasi Covid-19.
Kalau kita merujuk pada Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran 2020/2021 Dan Tahun Akademik 2020/2021 Di Masa Pandemi Covid-19, disitu dikatakan bahwa kesehatan dan keselamatan semua warga sekolah merupakan prioritas utama yang wajib dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan pembelajaran pada masa Pandemi Covid-19.
Mengenai proses pembelajaran yang harus tetap kondusif dan efektif, justru disini peran segenap warga sekolah diuji untuk menghadirkan berbagai kreativitas dan inovasi melalui merdeka belajar, setidaknya sampai Pandemi Covid-19 benar-benar hilang dari bumi ini, kita masih bisa kompromi terhadap keadaan melalui “Kurikulum Darurat”, ungkap Sumardiansyah melalui rilisnya pada Ahad, 12 Juli 2020.(*)