Abdullah Hehamahua : Dekrit 5 Juli 2020 Presiden Harus Minta Maaf

FOKUSATU-Kriiing, telepon di meja kerja saya berbunyi. Saya langsung mengangkatnya. “Halo, assalamu’alaikum pak,” sapa penelpon. “Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab saya. “Ini dari Biro Umum pak,” beliau mengenalkan diri. “Oh ya, ada yang bisa saya bantu Mbak.?” Perempuan itu (saya lupa namanya) melanjutkan: “Begini pak, biaya transportasi bapak dari bandara Soekarno Hatta, melebihi kouta pak.”

PNS yang dipekerjakan di KPK dari Kementerian Keuangan tersebut menjelaskan bahwa, menurut SOP, pejabat yang tugas ke daerah, dari bandara harus kembali ke kantor dulu. Jadi biaya transportasi lokal yang diakui adalah dari bandara ke kantor. “Bapak harus kembalikan kelebihan uang yang terpakai,” katanya, menyampaikan sanksi yang harus saya jalani. Begitulah SOP di KPK.

Kalau tidak salah, waktu itu saya dari Makassar (2006), sendirian. Landing di bandara Soeta sekitar pukul 20.000. Kepenatan, taksi yang saya tumpangi langsung menuju Depok (waktu itu saya belum tinggal di kost, Jakarta). Kalau siang hari, dari bandara saya ke kantor dulu baru pulang dengan mengenderai sendiri mobil pribadi. Tidak salah, argo taksi sekitar Rp. 200.000. Saya tidak perasan kalau jatah saya hanya Rp. 150.000.

Maklum, sekalipun sebagai kordinator penyusunan SOP KPK, tetapi berkenaan detail penggunaan keuangan negara waktu itu, saya kurang perasan. Saya tau, perjalanan dinas di KPK tidak lagi menggunakan sistem lumpsum seperti yang diterapkan K/L secara umum. KPK sudah menerapkan sistem at cost. Jadi, di dalam tas saya selalu ada buku kwitansi. Jika taksi atau warung makan yang digunakan perkhidmatannya tidak ada resit, saya sodorkan kwitansi untuk ditandatangani. Sebagai pejabat yang selalu mengisi materi Kode Etik dan Integritas dalam Bimtek pegawai baru KPK, saya malu terhadap diri sendiri. Hari itu juga, saya langsung kembalikan uang yang ditagih pegawai Biro Umum KPK.

Wajar jika sebagian karyawan KPK bercanda, “kalau bukan karena pengabdian, ogah tugas ke daerah.” Hahaha, saya paham. Sebab, biaya SMS atau telepon selama dalam perjalanan, menjadi tanggung jawab pribadi. Jadi, nyaris “nombok” setiap kembali dari perjalanan dinas, khususnya di luar Jawa. Apakah SOP tersebut masih berlaku di KPK sekarang. ? Biarlah ICW yang memantaunya dari luar jika ternyata PI dan Dewas secara internal, abai terhadap masalah ini.

Minta Maaf
Pasca dua Menteri dan beberapa pejabatnya ditangkap KPK, Kementerian Kesehatan berjaya membaiki kinerja internalnya. Sebab, lazimnya, setelah tindakan penindakan, KPK akan menyampaikan rekomendasi ke K/L terkait untuk membaiki tata laksana birokrasinya. Wajar, pada tahun 2018, dari 36 Indikator Sasaran Kinerja Strategis di Kemenkes, hanya empat indikator yang belum mencapai 100%. Hal ini disampaikan Pejabat Irjen Kemenkes ketika saya menjadi narasumber dalam acara diklat yang diselenggarakan KPK di kementerian tersebut. Data-data ini yang membuat dugaan saya dalam artikel tanggal 3 Juli bahwa, lambannya penggunaan anggaran disebabkan reformasi birokrasi di kementerian tersebut. Maksud saya, pengeluaran serupiah pun harus mengikuti SOP yang ada. Tidak seperti kebiasaan presiden yang suka melabrak peraturan selama ini. Apalagi selama lebih 8 tahun di KPK, saya pahami, Kode Etik, SOP, dan Peraturan Kepegawaian KPK tidak menerapkan sistem Machiavelli , yakni tujuan menghalalkan cara. Namun, betapa terperanjatnya saya, ketika membaca berita bahwa, dana sebesar 75 trilyun yang disebut presiden itu belum diterima Kemenkes. Saya ikut-ikutan dungu mengkabing-hitamkan Kementerian Kesehatan seperti lakonan presiden yang memarahi para menteri. Wajar jika pada kesempatan ini, saya minta maaf ke semua karyawan Kemenkes. Bagaimana dengan kesalahan fatal yang dilakukan presiden tersebut. ? Ah, biarlah itu menjadi urusan Ombudsman, BPKP atau PJKAKI KPK. Satu hal yang pasti, dari pidato tanggal 18 Juni tersebut, ditemukan beberapa indikator yang menunjukkan adanya “mens rea” yang memenuhi unsur tindak pidana yang akan dilakukan presiden nanti. Maknanya, Presiden harus minta maaf ke Kementerian Kesehatan atas ketidakjeliannya tersebut. Meskipun saya setuju kalau Menterinya diistirahatkan.

Macetnya Di Mana. ?
Tentu muara keuangan negara ada di Bendahara Negara, Kemenkeu. Maknanya, kemacetan terjadi di sini. Minus anggaran.? Tentu. Itu sebabnya, utang dilipat-gandakan. Lalu mengapa belum ditransfer.? Dugaan saya, dua penyebabnya. Pertama, Menteri Keuangan masih trauma dengan kasus bank Century. Maklum, beliau beberapa kali diperiksa KPK atas keterlibatannya dalam kasus yang oleh JK disebut sebagai perampokan tersebut. Kedua, pejabat dan karyawan Kementerian Keuangan sekarang, banyak alumni KPK. Tentu, mereka masih ingat SOP dan Kode Etik di KPK. Mungkin mereka yang mengingatkan Menteri dan pejabat teras di sini bahwa, ada kamera yang selalu mengintip tindak tanduk mereka sebagai Penanggung Jawab Keuangan Negara. Apalagi ketika almarhum Baddar (mantan Kepala Biro Keuangan KPK) menjadi Sekjen dan Irjen Kemenkeu yang kemudian menjabat Ketua PPATK. Ada pula mantan PI KPK. Lebih-lebih, Ketua BPKP dan beberapa pejabat terasnya adalah mantan pegawai KPK. Bahkan ada yang pernah menjabat Direktur Penyelidikan dan Direktur PI KPK. Ketua LKPP juga alumni KPK. Namun, mengapa mantan jubir KPK yang menjadi jubir istana lupa mengingatkan presiden mengenai perlunya budaya kerja modern yang jauh dari virus KKN.? Ya, silahkan tanya ke rumput yang bergoyang. !
Presiden atau Staf yang Salah ?

Segitu marah dan pedenya presiden pada rapat kabinet tanggal 18 Juni, betul-betul disebabkan kesalahan informasi dan data dari staf istana. ? Ataukah memang presiden sendiri yang kurang memahami masalah.? Mungkin juga presiden, ketika jadi mahasiswa, kurang aktif dalam kegiatan kampus. Sebab, di dunia kampus ada sejenis jargon: “Mahasiswa takut sama rektor. Rektor takut sama Menteri Pendidikan. Menteri takut sama presiden. Presiden takut sama mahasiswa.” Jika aktif di kampus, presiden akan super hati-hati membuat kebijakan serta mengeluarkan pernyataan yang dapat dijadikan mahasiswa sebagai bola salju yang kemudian menjelma sebagai boomerang bagi presiden sendiri. Itulah sebabnya, di medsos kemarin, muncul gurauan, jangan-jangan, ancaman reshuffle dari presiden terhadap para Menteri tersebut sebenarnya ditujukan ke diri sendiri. Ha.? Kita lihat saja beberapa hari ini, apa lagi lakonan presiden yang bisa membuat koalisinya di DPR sakit perut karena mengonsumsi daging kambing hitam.

Satu hal yang pasti, bertepatan dengan Dekrit 5 Juli 1959, 69 tahun yang lalu, Presiden perlu minta maaf ke Kemenkes khususnya dan rakyat Indonesia, umumnya. Semoga !
Depok, Dekrit 5 Juli 2020.

Abdullah  Hehamahua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 + 1 =