Prof Dr Yuddy Chrisnandy : Refleksi Peran Transformatif Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

FOKUSATU-Menuliskan tentang sejarah, pemikiran dan peran transformatif HMI memberikan kenangan bagi penulis yang pernah di aktif di organisasi ini sepanjang akhira tahun 1980-an dan awal 1990-an, baik sebagai anggota, pengurus dan penceramah. Penulis tumbuh dan dibesarkan di organisasi kemahasiswaaan terbesar di Indonesia ini, tempat dimana tempaan dalam kaderisasi kepemimpinan memberikan bekal bagi banyak alumninya untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Banyak tokoh-tokoh negeri ini lahir dari HMI, bukan hanya di kalangan intelektual dan cendikia dimana HMI memiliki akar tradisi intelektual yang kuat sebagai sambungan dari berbagai organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Dagang Islam (SDI), Sarekat Islam (SI), Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), Jong Islaminten Bond (JIB), Partai Islam Indonesia (PII) dan Masyumi, namun juga HMI memasok kalangan pengusaha muslim, kaum profesional, kalangan aktivis dan politisi muslim yang itu semua memberikan kontribusi besar bagi kebangunan kelas menegah muslim terdidik.

Robert William Hefner seorang Indonesianist terkemuka dari Boston University dalam kajiannya “Islam, State and Civil Society, ICMI and The Struggle for Indonesian Middle Class”, menyebutkan bahwa dekade 1980-an terjadi booming kelas menengah muslim terdidik pasca kepulangan mereka dari pendidikan tingginya di luar negeri. Mereka-mereka ini berkembang dan menduduki posisi-posisi strategis dalam kepemimpinan masyarakat dan pemerintahan seperti
yang direpresentasikan oleh ICMI, namun lebih dari itu dibandingkan interpretasi politik di sekitar kelahiran ICMI, Hefner yang lebih suka menjelaskannya melalui fenomena sosiologis menyebutkan sesungguhnya sebelum mereka-mereka ini menempuh pendidikan tingginya keluar negeri banyak dari mereka mengembangkan tradisi intelektualnya sewaktu aktif di lingkungan HMI.

Jadi HMI turut memelihara kesinambungan tradisi intelektual muslim dari generasi ke generasi selama 72 tahun perjalanannya seperti yang telah ditunjukan para tokoh-tokohnya selama ini, dari generasi pertama intelektual HMI di awal kelahirannya di tahun 1947 yang diwakili Lafran Pane, HMS. Mintaredja, Ahmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwihardjo dan Deliar Noer turun ke generasi sesudahnya seperti Sulastomo, Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Endang Saefuddin Anshari, Amien Rais hingga ke generasi HMI berikutnya ke generasi tahun 1980 – 1990-an.

Saat ini tantangan HMI makin berat yang paling tidak saya mencatatnya ada pada beberapa hal: Pertama, yang harus dijawab oleh adik-adik generasi HMI sekarang adalah, bagaimana tradisi intelektual tersebut dipertahankan, dikembangkan dan melakukan pembaharuan seperti yang ditunjukan oleh generasi terdahulu HMI. HMI dikenal sebagai bagian dari golongan pembaharu yang gagasan pemikirannya berkaitan erat dengan social contex keumatan dan kebangsaan yang dihadapinya. Mulai dari kelahirannya yang merupakan respon spirit nasionalisme pendiri HMI atas perjuangan revolusi phisik dalam menghadapi kolonialisme Belanda (1947) serta mendirikan wadah tempat berhimpun bagi mahasiswa Islam, respon atas menguatnya komunisme hingga respon kalangan intelektual Islam (termasuk HMI) atas sikap keras pemerintah Orde Baru yang menolak Islam Politik. Respon inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai sikap transformatif ketika perjuangan politik umat tidak lagi harus menjadikan partai politik sebagai saluran tunggalnya, namun juga bisa dikembangkan dalam medan-medan perjuangan yang lain seperti dakhwah, pendidikan, organisasi dan profesi profesional lainnya.

Kedua, mempertahankan dan mengembangkan elan perjuangan HMI. HMI harus mampu menjawab tantangan zaman di tengah- tengah dunia yang semakin mengglobal dan bergerak cepat. HMI harus mampu melahirkan terobosan dan mengembangkan ide-ide kreatif untuk kemajuan bangsa dan negara. HMI harus mampu melahirkan bukan hanya pemimpin politik namun juga pemikir, pengusaha dan kalangan profesional termasuk ahli-ahli teknologi informasi (IT) yang di era ini perannya juga sangat dibutuhkan. Saya percaya HMI mampu mengemban amanah itu sama seperti kepercayaan saya melihat HMI sebagai salah satu organisasi pemasok kepemimpinan bangsa. Kader- kader HMI harus mampu membuktikan credo-nya “Yakin Usaha Sampai” (Yakusa) dalam pemikiran, perbuatan dan perjuangannya, satu hal yang dahulu juga selalu ditanamkan ke saya sewaktu saya beraktivitas di HMI dahulu.

Ketiga, HMI haruslah mampu menjadi organisasi transformatif masyarakat bangsa dan negara dengan mensinergikan gagasan keIslaman dan keIndonesian. Gagasan ini memang terdengar klasik dan sudah diperbincangkan jauh sebelum Indonesia merdeka, namun bila kita kaitkan dengan kondisi global saat ini tentu Pemikiran keIslaman dan Kebangsan akan tetap relevan. Gagasan ini menurut saya adalah pemikiran Islam inklusif yang telah dikemukakan tokoh-tokoh muslim generasi terdahulu seperti Agus Salim, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, KH. Wahid Hasyim yang makin menemukan bentuknya ketika mantan Ketua Umum PB HMI, Nurcholis Madjid mengemukakan pemikirannya dalam dua momen penting yaitu pada tanggal 2 Januari 1970 saat silaturahmi dengan ormas-ormas kepemudaan/kemahasiswaan Islam dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dan satu bulan kemudian dalam Dies Natalies ke 23 HMI 5 Februari 1971 berjudul “Menuju Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam”.

HMI seperti yang ditunjukan oleh Bang Agus Salim Sitompul, sejarawan HMI yang disertasinya menulis tentang Pemikiran KeIslaman dan Kebangsaan HMI juga telah mempertegas Pemikiran keIslaman dan Kebangsaan dalam dirinya ketika pada Kongres ke 10 di Palembang 3-10 Oktober 1971 memasukkan lima butir nilai-nilai Pancasila dalam Angggaran Dasar (AD) HMI pada alinea keempat yang berbunyi :

“Mahasiswa Islam Indonesia sebagai generasi muda bangsa yang sadar akan hak dan kewajibannya serta peranan dan tanggung jawab kepada nusa dan bangsa bertekad memberikan darma baktinya untuk mewujudkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Khikmat Dalam Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan atau Perwakilan serta Mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT” (Agus Salim Sitompul; Menyatu Dengan Umat Menyatu Dengan Bangsa, 2002:320).”

Gagasan Pemikiran KeIslaman dan Keindonesiaan ini kemudian dirumuskan oleh Nurcholis Madjid, Endang Saefudding Anshari dan Sakib Mahmud atas rekomendasi Kongres HMI ke 9 di Malang 3-10 Mei 1969 mewujud dalam pandangan dunia (weltanchaung) HMI yang kita para kader HMI mengenalnya sebagai Nilai Dasar Perjuangan (NDP) atau Nilai Identitas Kader (NIK). Dari NDP/NIK kita akan melihat dengan jelas bagaimana ideologi keagamaan HMI sesungguhnya dekat dengan modernisme yang menekankan subtansi, walaupun kita tidak menutup mata bahwa di tahun 1980-an juga berkembang arus kuat bercorak pemikiran literalis yang kita lihat di sebahagian anggotanya (Azyumardi Azra dalam Agus Salim Sitompul; Menyatu Dengan Umat Menyatu Dengan Bangsa, 2002:xxi).

Penekanan pada Pemikiran KeIslaman dan Kebangsaan yang inklusif inilah yang menurut hemat saya salah satu kekuatan HMI yang bila kita lihat dengan fenomena global belakangan ini tentu sangat relevan. Pemikiran KeIslaman dan Kebangsaan menjadikan HMI menemukan pijakan kuatnya untuk tetap eksis berkiprah puluhan tahun dan menyambungkan gagasan Islam dan nasionalisme yang dikembangkan para cendikiawan muslim founding fathres sebelum Indonesia merdeka, bersambung terus hingga terwariskan ke generasi kita saat ini. Sekarang yang menjadi persoalan adalah seperti yang tadi saya katakan, “Apakah HMI sekarang ini mampu mempertahankan peran transformatif itu?”

Keempat, namun disamping kekuatan Pemikiran KeIslaman dan KeIndonesian HMI seperti yang telah saya kemukakan diatas, tantangan lain yang tak kalah pentingnya untuk dijawab adalah konsolidasi organisasi mulai dari struktur organisasi, jaringan dan yang terpenting kaderisasi sebagai jantungnya organisasi-organisasi pengkaderan seperti HMI. Sudah waktunya kader-kader HMI merevitalisasi HMI menjadi kekuatan baru untuk menampilkan HMI yang lebih segar dalam pemikiran dan kiprah perjuangannya. HMI harus mengambil kembali semangat perjuangan para pendiri organisasi ini di tahun 1947 dengan segala idealismenya. HMI harus memperhatikan kaderisasi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tanpa kaderisasi yang baik sulit bagi HMI untuk menandingi generasi-generasi pendahulunya, tapi saya yakin kade-kader HMI sekarang mampu mengemban amanah perjuangan itu. Saya percaya “Setiap Orang Ada Masanya dan Setiap Masa Ada Orangnya”. Khalil Gibran mengatakan “anakmu adalah anak zamannya” dan setiap zaman pasti memiliki panggilan perjuangannya masing-masing.

Karena itu dengan melihat kekayaan khasanah pemikiran dan perjuangan HMI wajarlah bila banyak pakar tertarik mengkaji HMI dari berbagai sudut; sejarah, kepemimpinan, tokoh-tokohnya hingga ke tradisi Pemikiran KeIslaman dan Kebangsaan, baik untuk skripsi, thesis, disertasi maupun buku-buku lainnya yang menandakan bahwa HMI bukan hanya layak diangkat menjadi kajian namun juga memiliki kontribusi besar dalam mengiringi KeIndonesiaan kita.

HMI yang didirikan oleh ayahanda Prof. Drs. Lafran Pane pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta dengan basis pertamanya di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) telah membuktikan kekuatan dan daya tahan organisasi ini sebagai organisasi perjuangan. Kita tentu bangga dengan prestasi yang telah ditorehkan oleh kader-kader HMI selama 72 tahun kiprah perjuangannya. Namun ini tidak cukup, HMI harus membuktikan kembali perjuangannya termasuk berkontribusi dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita menuju Indonesia Jaya, sepanjang masa

Tulisan Prof Dr Yuddy Chrisnandy ME SH Berjudul REFLEKSI PERAN TRANSFORMASI HMI yang dimuat dalam Buku Berjudul DARI KYIV MENULIS INDONESIA Penerbit Madani Institute Cetakan Pertama Terbit Oktober 2019.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

66 − 59 =