FOKUSATU-Anggota Badan Anggaran DPR Hermanto mengatakan Sri Mulyani bertanggung jawab atas krisis keuangan akibat diberlakukannya Perppu No. 1/2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menhadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.
“Bila tidak lagi mampu mengatur keuangan negara, Sri Mulyani lebih baik mundur saja dari jabatan Menteri Keuangan,” papar Hermanto menanggapi pernyataan Sri Mulyani belum lama ini yang menyebutkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 bakal melebar hingga 6,72 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau mencapai Rp. 1.028,6 triliun.
Menurutnya, defisit anggaran hingga 6,72 persen mengindikasikan Pemerintah gagal menyusun APBN pada masa covid-19. Padahal Pemerintah telah melakukan tiga kali refocusing dan relokasi anggaran dengan prinsip pemotongan dan penghematan. “Pemotongan dan penghematan anggaran telah dilakukan, mengapa kok masih defisit juga ?”, tanya legislator dari FPKS ini.
Hal tersebut, lanjutnya, menandakan Pemerintah gagal menterjemahkan dan menjabarkan amanat yang terkandung dalam UU Nomor 2/2020. “Lalu pertanyaan yang mendasar adalah darimana sumber dana untuk menutupi defisit tersebut ?”, tanyanya lagi.
Hermanto memprediksi, defisit 6,72 persen akan menjadi sumber krisis keuangan dan ekonomi nasional yang dapat menghadirkan krisis multidimensional. “Pemerintah harus mewaspadai akan munculnya krisis sosial karena belum teratasinya wabah covid-19. Krisis sosial dapat berdampak pada krisis politik”, ucapnya.
Namun Hermanto berharap krisis multidimensional tidak terjadi. Hal tersebut bisa diusahakan sepanjang Pemerintah terbuka dan demokratis dalam menyusun APBN. “Menerapkan prinsip good governance, menegakkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”, pungkasnya.(*)