Djoko Edi : Pejabat Publik

FOKUSATU-Sri Mulyani kesulitan dana Covid-19. Tapi Luhut Binsar Panjaitan, tidak mau dana untuk ibukota baru diganggu. Kita sama-sama tahu, yang ada di pikiran beliau duit duit duit. Tak ada sedikitpun untuk negara”, kata Said Didu. 

Ucapan itu yang mau dipidanakan Luhut menggunakan UU ITE. Komen saya: tak masuk ke pasal bro! Apakah itu mencemarkan nama baik? Luhut di situ adalah Menko, pejabat publik. Kata Luhut dengan arogan: “Jabatan saya sangat tinggi. Saya berkuasa”.

Luhut pribadi, tak penting bagi Said Didu, juga bagi publik. Untung saja tak total mentah-mentah Jokowi ikut perintah Luhut. Jika tidak, saat ini Jokowi sudah menjadi Jair Bolsonaro, Presiden Brazil yang disingkirkan oleh militer kemarin karena pro investasi, abai Covid. Kurang lebih idem ditto Luhut dan Bolsonaro.

* * *

Luhut penting karena kekuasaannya, jabatannya, dan posisi kenegarawannya: posisi pejabat publik!

Dari kasus ini, orang hukum menyusun Posita, Pentitum, Dalil, Bukti untuk gugat balik Luhut. UU ITE itu ribet di tangan Reskrimsus. Penyidik bisa memunculkan dalil yang sama sekali berbeda dengan yang umum, mereka cuwek bebek walau tahu salah berat. Saya pernah mengalaminya.

Jadi, jangan lewat situ. Becek. Cari Sumber pasal itu di KUHP. Sebab, pasal-pasal ITE itu dikonfirmasi oleh pasal KUHP. Kalau tak jalan di pasal KUHP nya, ya tak jalan, pasti keok di pengadilan. KUHP, tak bisa direkayasa, karena tiap pasal KUHP sudah ada argu dan analisis pedoman laksananya sejak ratusan tahun lalu.

Seluruh ucapan Didu mengarah ke peran pejabat publik yang disandang Luhut, apakah itu kritikal: menghina, pembunuhan karakter, hoax, dan atau pencemaran nama baik. Saya yakin, tukang kritik kebijakan publik tak boleh di kriminalisasi.

Kritik Didu ditujukan kepada pejabat publik yang disandang Luhut, maka Luhut dituntut membuktikan tuduhannya. Itu hukumnya: siapa yang mendalilkan, ia wajib membuktikan. Apa yang akan dibuktikan oleh Luhut dari kritik Didu tadi? Tersinggung, marah, malu, di sebelah mananya pelanggaran Didu di situ? Tenggang waktunya sudah lewat. Luhut ditunggu di kantor polisi. Delik aduan, kudu datang sendiri, Tuan Menko.

* * *

“Pejabat publik” adalah “virtue” nya Rousseau. Juga “virtue” nya Robies Pierre. Di seberangnya adalah “virtue” nya Kesatria Romawi Klasik. Dua paradoks mengenai officium nobilum. Tapi Nobilum versi Robies Pierre adalah Rheign of Terror (Pemerintahan Terror), karena kebajikan baru hadir ketika muncul kejahatan terror dari negara. Robies Pierre mengirim 60.000 musuh politiknya ke tiang gantungan untuk menerbitkan teror.

Di FHUI, “pejabat publik”, dipelajari 2 SKS. Tajuknya: Algeemene beginselin van behorlijk bestuur (artinya: Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik). Luhut adalah bestuur. “Saya pejabat tinggi. Punya kekuasaan sangat besar”, komen Luhut sambil mengancam.

Ada 13 variabel pada versi Rechtsstaat (Hindia Belanda). Sewaktu Reformasi, tinggal enam variabel di LoI nya Camdessu VS Soeharto, namanya: Good Governance (pemerintahan yang baik) ala Anglo Saxon. Luhut adalah Good Governance. Ke sinilah sasaran kritik Didu itu.

Setelah ancaman mempidanakan Didu tersiar luas, datang Faisal Basri. Para aktivis berkumpul menjawab siaran pers Luhut. Ratusan aktivis spontan menandatangani siaran pers itu: meminta kepada Presiden agar Luhut dipecat!

Alasan pemecatan sederet kelakuan bejat Luhut ketika menggunakan Freires Ermesson (hak melawan hukum bagi pejabat publik demi kepentingan publik). Contoh: semua orang mencegah asing tak boleh masuk ke Indonesia untuk cegah wabah Covid-19. Luhut malah memasukkan TKA Cina. Publik gusar, internet ramai dengan tagar #LuhutpengkhianatRI.

* * *

Freires Ermesson tidak bebas nilai. Ada 4 unit kontrol yang mengawasi pelaksanaannya. Pertama, Excess Du Pouvoir (penyalahgunaan kekuasaan). Kedua, Detournament Du Pouvoir (penyalahgunaan kewenangan). Ketiga, Onrechtsmatigedaad (perbuatan melawan hukum). Keempat, Tort (kesalahan pidana). Dengan mudah ditemukan keempatnya pada Luhut.

Keempat kontrol itu, harus dilakukan publik, termasuk Didu. Makanya saya tak seluruhnya setuju UU PTUN dan UU No 30/2016. Khususnya ketika delik korupsi diubah menjadi delik administrasi.

Ketika VOC, Ratu Yuliana bahkan mengirim sebuah team ke Indonesia untuk awasi penyimpangan Freires Ermesson. Namanya Komitie De Monchie, bahasa Indonesianya ialah Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penulis : Djoko Edhi Abdurrahman, Wasekjen DPP KAI, Advokat, Mantan Komisi Hukum DPR, Wasek LP Bantuan Hukum PBNU.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

77 + = 78