Soal Kata Babu, Rieke Dyah Pitaloka : Istilah Yang Tepat Memang Babu Alias Pembantu

WARTAHOT – Anggota Timwas TKI DPR Rieke Dyah Pitaloka menilai, cuitan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah tentang anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela adalah kenyataan.

“Hal itu merupakan kenyataan dimana hidup jadi begitu kasar dan keras bagi mereka yang jadi babu dan diperlakukan sebagai babu, bukan pekerja,” kata Rieke di Gedung DPR RI, Rabu (25/01/2017).

Selasa lalu, Fahri Hamzah berkicau di Twitter lewat akun @Fahrihamzah: “anak bangsa mengemis jadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela…”. Kicauannya kemudian mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan termasuk dari Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri. Tapi kicauan itu kemudian dihapus oleh Fahri.

Rieke meminta pihak-pihak tertentu untuk tidak menutup-nutupi hal tersebut dan tidak terjebak eufemisme, menghalus-haluskan kata untuk kondisi yang berkebalikan. Menggunakan kata-kata yang sopan untuk menutupi ketidakadilan yang terjadi.

“Selama belum diakui sebagai pekerja formal, istilah yang tepat memang babu alias pembantu. Nasib tragispun bagi ‘babu’, (bukan bermaksud menghina) terjadi di dalam negeri sendiri, terjadi kekerasan terhadap pembantu atau babu,”  kata politisi PDIP itu.

Dia menjelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang yang bekerja sebagai pembantu dalam rumah disebut banu, ada babu cuci, babu masak dan sebagainya.

Bahkan, sambungnya, upah pembantu terserah yang memberi, jam kerja juga tergantung majikan. Tawar-tawaran pun tidak dijamin norma hukum.

“Jadi kalau dilanggar pun tak ada sanksi bagi yang melanggar, bisa diberhentikan kapan saja, tanpa pesangon. Ada majikan yang baik, itu untung-untungan, bukan karena ada perlindungan hukum yang memperlihatkan kehadiran negara,” katanya.

Rieke menjelaskan babu atau pembantu berbeda dengan pekerja rumah tangga.  Dia mengatakan pekerja rumah tangga memiliki jenjang pendidikan serta perjanjian dan kontrak yang jelas. Selain itu, terdapat kewajiban sebagai pekerja yang harus dipenuhi pekerja. Kemudian terdapat hak-hak sebagai pekerja yang wajib dipenuhi pemberi kerja, seperti upah , one day off, jaminan sosial.

“Barangkali yang di Hong Kong cukup baik nasibnya. karena sistema hukumnya cukup baik melindungi TKI yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga. Namun hal itu berbeda dengan TKI di Timur Tengah dan Malaysia,” ujarnya.

Di bagian lain penjelaskannya, Rieke menyatakan,  tidak bisa menyalahkan negara penerima TKI  tapi semua pihak berjuang bersama memperbaiki sistem hukum yang melindungi TKI.

“Tidak perlu saling menghujat dan menyalahkan. Kita sama-sama rumuskan yang terbaik, agar negara Penerima TKI pun ‘tidak main-main’ terhadap pekerja dari Indonesia,” ujar Rieke.

Dia karena itu meminta mensahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga agar di dalam negeri pun profesi yang sama mendapatkan kepastian Perlindungan hukum sebagai pekerja. “Bukan sebagai babu yang tanpa kejelasan status kerja dan hak-hak pekerja,” kata Rieke.

Kemudian, Rieke juga meminta revisi UU yang mengatur TKI dan harus sejalan dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya yang telah dirativikasi Indonesia

“Bongkar perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI, agar TKI kita tidak diperlakukan sebagai babu atau bagian budak, tangkap dan adili siapa pun pelaku yang terlibat, kalau ada pejabat yang terlibat pun harus dicopot dari jabatannya dan mendapat sanksi pidana,” kata Rieke

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

27 + = 34